MUI versus NABI


Kemarin, ada anggota grup WA yang membagikan sebuah artikel anonim yang isinya kumpulan hadits-hadits. Pesan utamanya: umat Islam tetap harus meramaikan masjid dan salat Jumat tanpa perlu takut virus Corona. Pesan artikel ini tentu bertentangan dengan fatwa MUI, Muhammadiyah, NU dan lembaga-lembaga fatwa dunia. Kebetulan, teman di grup WA hanya menyebut MUI, lalu dia bertanya, “Bagaimana ini kiai, fatwa MUI koq bertentangan dengan Hadits Nabi?”

Lalu saya jawab: cara berfikir yang menganggap artikel itu sebagai “Hadits” (Hadits = Nabi) dan fatwa MUI sebagai “cuma fatwa” (Fatwa=Manusia) tidaklah tepat. Meskipun artikel itu berisi 10 hadits Nabi, artikel itu bukan Nabi. Artikel itu adalah pendapat si penulis yang diberi dalil Hadits Nabi. Maka cara kita melihatnya harus diubah: Pendapat Penulis versus Fatwa MUI.

“Nah, njenengan mau ikut fatwa MUI atau pendapat si penulis?”

***

Saya tidak ingin membela MUI. Saya hanya ingin mengkritik cara pandang kita yang sering simplifikasi dalam beragama gara-gara ajaran kaum modernis yang membiarkan umat tanpa kualifikasi ilmu untuk kembali sendiri ke Alquran dan Hadits. Orang, tanpa tahu diri siapa dirinya, sudah merasa ketemu Nabi begitu membaca Hadits, merasa ketemu Allah begitu membaca sebuah ayat Alquran, walau cuma terjemahan.

Padahal membaca dalil-dalil untuk sampai kepada kesimpulan hukum bukan pekerjaan gampang. Ada ilmunya. Fatwa MUI lahir dari kajian kolektif, tidak cuma oleh satu-dua orang ahli. Pertimbangannya pun didasarkan pada semua dalil yang bisa mereka temukan dari Alquran sampai Maqasid; dari dalil agama sampai informasi medis.

Njuk, tiba-tiba, fafwa MUI mau dibenturkan dengan pendapat satu orang yang hanya bisa mengumpulkan 10 hadits?

Tetapi pada saat yang sama, saya juga ingin agar kita tidak menaikkan status fatwa MUI itu "selevel dengan Allah." Fatwa tetap fatwa. Maka, kalau MUI berfatwa bahwa bunga bank itu haram, jangan disamakan dengan Allah mengharamkan bunga bank. Kalau MUI mengatakan Syiah itu sesat, jangan disimpulkan orang Syiah otomatis tidak masuk surga.

Fatwa MUI tetap fatwa. Sebab, ada fatwa lain yang tidak mengharamkan bunga bank. Ada fatwa lain yang mengatakan Syiah bukan golongan sesat.

Mari kita dudukkan: fatwa vs fatwa. Fatwa MUI vs Fatwa NU, misalnya. Kita nderek siapa monggo, asal jangan nderek "udhelmu dewe"; merasa sudah ketemu Nabi gara-gara nemu satu-dua Hadits.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama