Niat


Entah mengapa, meski sudah lama tahu, saya kadang melupakan nilai-nilai pokok, sederhana, dan 'immortal' yang dapat menjadi suluh hidup kita. Kita tahu, berulang kali membaca, bahwa innama al-a'mal bi al-niyyah, perbuatan itu tergantung niatnya. Sederhana kan? Apa pun yang kita lakukan harusnya dimulai dari ... niatnya apa?

Niat di situ akan lebih baik kalau menggunakan definisi NU: diucapkan secara jelas, minimal kita sendiri yang mendengar. Lalu kita tuntun diri kita dengan niat itu untuk berbuat yang baik, dan hanya dengan tujuan yang baik. 

Mungkin tidak semua niat baik akan berbuah baik atau diterima dengan baik oleh yang kita tuju dengan perbuatan itu. Tetapi, minimal kita sudah berniat baik. Bayangkan, kalau niat baik saja kadang diterima buruk, apalagi kalau tidak punya niat baik.

Saya menulis ini sebagai pengingat diri sendiri karena dalam kurun seminggu ini saya membaca dua tulisan dua 'pengusaha' tentang bisnis mereka, dnegan pesan yang sama: niatnya apa? Mereka bukan 'pengusaha' besar. Bisnis mereka hanya rental dan jualan warung pinggir jalan. Saya tidak akan cerita detil bisnisnya karena say juga tidak paham matematika para pengusaha. Kita iyakan saja kalkulasi mereka dan kita ambil cerita utamanya.  

Si pengusaha rental menceritakan bahwa bisnis rental itu modalnya besar, omzetnya kecil. Dalam hitungan dia, mending bisnis digital. Modalnya tidak besar, perputarannya bisa cepat. Untungnya besar. Sekali lagi, jangan tanya saya detilnya gimana. Saya tidak paham. Tetapi ada satu peristiwa yang membuat dirinya menemukan makna bisnisnya bagi orang lain. 

Bisnis yang tidak seberapa itu, rental komputer,  ternyata bisa membantu seseorang yang tidak punya komputer dan internet di rumahnya untuk bisa mendaftarkan anaknya ke perguruan tinggi dan mengikuti tes secara online. Bisnisnya tetap bisnis. Rentalnya tetap bayar, tetapi ia memaknai bahwa rental itu bisa membantu orang.  

'Pengusaha' yang satunya lagi menemukan bahwa jualan bensin eceran itu bukan dagangan yang ia pilih. Untungnya kecil, risikonya besar. Terbakar, bisa-bisa tokonya ludes semua. Tetapi ia akhirnya jualan karena tokonya sering disinggahi orang yang menuntun kendaran, kehabisan bensin di jalan. Wjah capek penuh harap itu bertanya, "Punya bensin pak?" Maka ia putuskan untuk jualan bensin. Bukan untung yang ia cari: menolong mereka yang di tengah malam kehabisan bensin ketika SPBU sudah tutup.

Dua cerita itu menegur saya: mengapa kadang saya mengeluh saat mengajar di kelas yang sulit? Mengapa kadang mengeluh ketika ketemu skripsi yang ... gitu lah pokoknya? Mengapa kadang jengkel sekali kalau ada artikel jelek masuk ke jurnal? Kalau saya bisa mengubah 'pekerjaan' dan 'beban' itu menjadi peluang amal soleh, hidup saya akan lebih bahagia lagi. 

Mungkin. Mungkin sekali.

Tetapi, yang sering memang lupa. Padahal mengubah niat saja, 'masalah' bisa selesai, minimal separohnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama