Sikap Tengah


Saya sudah lama menghafalkan Hadits ahbib habibaka haunam-ma (dst.). Itu lho Hadits yang menasehati agar kalau kita menyukai seseorang (kekasih sekali pun), cintailah secukupnya saja. Demikian juga sebaliknya, kalau membenci seseorang (musuh sekali pun), bencilah sewajarnya saja.

Selama ini, saya selalu menempatkan diri sebagai mukhatab  hadapan teks itu: saya adalah si orang yang mencintai atau membenci seseorang. Kemudian, demi menaati pesan Nabi, saya mengambil sikap tengah. Pernahkah Anda memikirkan untuk menjadi damir ghaib (orang ketiga) dari Hadits itu?

Saya baru bisa membayangkan bagaimana kalau kita dicintai secara berlebihan. Misalnya, saya jadi pimpinan di sebuah lembaga yang anak buah saya mencintai saya secara berlebihan. Saking cintanya, apa saja yang saya minta dilaksanakan. Saking cintanya, setiap omongan saya adalah kebenaran. Ya, karena cinta memang membutakan. 

Dalam posisi seperti itu, apa enaknya? Kita mungkin malah tidak bisa memimpin dengan baik. Sebab, kita menjadi tidak memperoleh pandangan yang berbeda. Kelewat(an) dicinta mungkin memang tidak enak. bagaimana dengan kelewat dibenci? Saya kira ya sama saja. Saya tidak perlu membayangkan kalau soal yang seperti ini. Hahaha.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama