--------
Artikel kami ini meneliti bagaimana penyandang disabilitas dipersepsikan, didefinisikan, dan diperlakukan dalam praktik Peradilan Agama di Indonesia. Kami menganalisis lebih dari 200 putusan Pengadilan Agama dari periode 2005–2023, yang datanya tersedia di Direktori Putusan Mahkamah Agung RI. Pertanyaan utama penelitian adalah sejauh mana praktik Peradilan Agama selaras dengan kerangka hukum Indonesia tentang disabilitas, khususnya setelah ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities dan berlakunya UU No. 8 Tahun 2016.
Penelitian kami menemukan adanya kesenjangan yang mencolok antara komitmen normatif negara dan praktik di pengadilan. Pertama, hakim sering menggunakan definisi disabilitas yang tidak konsisten, ketinggalan "jaman", serta tidak merujuk secara memadai pada undang-undang penyandang disabilitas yang berlaku di Indonesia. Kedua, disabilitas sering kali disamakan dengan ketidakcakapan hukum atau ketidakmampuan ekonomi, terutama dalam perkara perceraian, perwalian, dan dispensasi nikah. Ketiga, dalam perkara perkawinan dan keluarga, disabilitas serting dianggap hambatan dalam pernikahan, tetapi juga --sebaliknya-- menjadi alasan pembenaran perceraian, atau justru dipahami secara ambivalen sebagai bentuk kafā’ah (Tuli menikah Tuli itu sekufu'). Keempat, penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses persidangan masih sangat terbatas dan sering bergantung pada inisiatif informal keluarga atau LSM, bukan tanggung jawab institusional pengadilan.
Melalui artikel ini kami simpulkan bahwa peradilan agama masih bekerja dengan paradigma medis dan administratif tentang disabilitas, bukan paradigma sosial yang berbasis hak. Keterbatasan anggaran, minimnya pelatihan hakim, serta lemahnya internalisasi hukum disabilitas menjadi faktor struktural utama. Secara teoretis, artikel ini berkontribusi pada kajian hukum Islam dan disabilitas dengan menunjukkan adanya diskontinuitas epistemik antara wacana fikih disabilitas dan praktik peradilan. Secara praktis, artikel ini mengundang perlunya reformasi berkelanjutan melalui penguatan kapasitas kelembagaan, pelatihan yudisial, dan komitmen negara terhadap keadilan inklusif di peradilan agama.

Posting Komentar