Khutbah Hari Difabel Internasional (3 Desember 2025)

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَ الْإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْم، وَكَرَّمَهٗ تَكْرِيْمًا، وَجَعَلَ التَّقْوٰى مِيْزَانًا لِلْفَضْلِ وَالْجَنَابَةِ، لَا الْخَلْقَ وَلَا الْقُدْرَةَ وَلَا الْقُوَّةَ. نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَىٰ مَا أَنْعَمَ، وَنَسْتَهْدِيْهِ إِذَا ضَلَلْنَا، وَنَسْتَغْفِرُهُ إِذَا ظَلَمْنَا، وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ تَوْبَةَ عَبْدٍ يَعْلَمُ أَنَّ الْقُوَّةَ لَيْسَتْ دَائِمَةً، وَأَنَّ الضَّعْفَ يَدُوْرُ عَلَى النَّاسِ دَوْرَانَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ.

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ، إِقْرَارًا بِكَرَامَةِ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ، وَنَفْيًا لِمَا يَضَعُهُ النَّاسُ بَيْنَهُمْ مِنْ حَوَاجِزَ وَمَقَايِيْسَ يَزْعُمُوْنَهَا دِيْنًا وَلَيْسَتْ مِنَ الدِّيْنِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، الَّذِي جَاءَ بِالرَّحْمَةِ، وَعَلَّمَ الْخَلْقَ أَنْ يَرْفَعُوا الظُّلْمَ عَنْ ضُعَفَائِهِمْ، وَأَنْ يَنْظُرُوا إِلَى النَّاسِ بِنَظْرَةِ الْإِنْصَافِ والتَّسْوِيَةِ.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، نَبِيِّ الْعَدْلِ وَالرِّفْقِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ أَقَامُوا مَعَالِمَ الرَّحْمَةِ فِي الْأَرْضِ.

أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيَ بِتَقْوَى اللّٰهِ، فَالتَّقْوَى هِيَ الْإِنْصَافُ، وَالْإِنْصَافُ هُوَ رَفْعُ الْحَوَاجِزِ الَّتِيْ يَضَعُهَا النَّاسُ بَيْنَ النَّاسِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللّٰهُ…


Beberapa waktu yang lalu, tidak untuk pertama kalinya, saya diminta berbicara tentang pendidikan inklusif, yaitu pendidikan yang merangkul siswa/mahasiswa penyandang disabilitas dalam sistem pendidikan reguler bersama siswa/mahasiswa yang lain. Salah satu pertanyaan yang kembali muncul dari peserta yang belum mengenal pendidikan inklusif adalah, “Apakah keberadaan penyandang disabilitas di sekolah, kampus, dan sistem pendidikan yang sama tidak akan menghambat peserta didik lainnya?”

Hadirin yang dimuliakan Allah.

Jangan mengira pertanyaan semisal itu hanya dimiliki oleh mereka. Kita pun kadang masih mendengar pertanyaan yang sama di UIN Sunan Kalijaga, yang sudah belasan tahun mendeklarasikan diri sebagai kampus inklusif. Atau, meskipun tidak diucapkan pertanyaan itu, masih dapat ditemukan jejak-jejaknya dalam sikap dan kebijakan sebagian civitas academica UIN Sunan Kalijaga.

Menghadapi pertanyaan semacam itu, jawaban saya tidak pernah berubah. Pertama, pertanyaan itu lahir dari apa yang bisa disebut sebagai “arogansi epistemik,” seolah-olah para penyandang disabilitas-lah yang “menyulitkan” kita. Padahal kitalah yang justru membangun dan mereproduksi konstruksi sosial yang menyulitkan mereka. Bukan sebaliknya, mereka menyulitkan kita. Karena sebagai mayoritas, mudah saja bagi kita menentukan apa yang “normal,” apa yang “standar,” hingga apa yang kita anggap “seharusnya.”

Maka, kalau ada orang yang ter-eksklusi dari sistem itu, tentu saja kitalah mayoritas yang membuatnya. Kalau ada tunarungu yang tidak bisa mendengarkan khutbah Jumat, misalnya, kitalah yang membuatnya tidak mendengar karena kita mengonstruksi kenormalan khutbah yang sepenuhnya oral–auditory. Kalau ada tunadaksa tidak bisa masuk masjid, kitalah yang menciptakan hambatan dengan membangun masjid yang dianggap normal kalau berundak-undak tinggi. Jadi, kalau pendidikan inklusif merangkul yang tersingkir, mengajak yang tertinggal, itu karena kita sedang mengoreksi konstruksi sosial yang selama ini menyingkirkan dan meninggalkan.

Kedua, kita sebut saja sebagai “ilusi normalitas.” Kita yang mayoritas ini lupa bahwa normalitas itu sebenarnya sementara dan rapuh. Tidak ada yang benar-benar normal dalam kehidupan manusia. Anda yang merasa gagah perkasa, hanya soal waktu sebelum tubuh menjadi tua dan renta. Anda yang merasa bisa melihat dengan sempurna, hanya soal waktu sebelum memakai kacamata, dan semakin bertambah usia semakin menebal saja hingga tidak lagi bisa melihat apa-apa. Anda yang merasa normal dalam mendengar, mungkin tidak lama lagi akan berkurang jarak dengarnya dan jangkauan suaranya.

Allah telah menggambarkan perjalanan manusia itu dengan sangat jelas:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً

“Allah-lah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian setelah lemah itu memberi kekuatan, kemudian setelah kekuatan itu menjadikan kalian lemah kembali dan beruban.” (QS. Ar-Rūm: 54)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa kekuatan itu sementara, dan bahwa kondisi yang hari ini kita sebut “kelemahan” atau “kecacatan” pada orang lain bisa jadi adalah masa depan kita sendiri. Maka menyiapkan dunia yang ramah bagi penyandang disabilitas, yang merangkul mereka,  adalah menyiapkan dunia yang ramah bagi diri kita sendiri, bagi keluarga kita, atau anak turun kita. 

Masjid yang ramah bagi penyandang disabilitas, yang bisa diakses dengan mudah, yang memberikan kursi bagi lansia, yang menyediakan juru bahasa isyarat bagi jamaah Tuli, akan menjadi masjid yang ramah bagi kita ketika sudah tua dan tak berdaya: min ba’di quwwatin dla’fan wa syaibah.

أقول قولي هذا وأستغفر الله العظيم لي ولكم، فاستغفروه؛ إنه هو الغفور الرحيم


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama