Hari ini, saya baru saja menghadiri International Conference on Islamic Studies (ICIS) 2025 yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan. Tahun ini konferensi mengangkat tema besar “Islam, Environment, and Sustainability: An Ecotheological Perspective.” Tema yang tampak sederhana, tetapi menyimpan perdebatan panjang tentang bagaimana agama—khususnya Islam—mengartikulasikan hubungan antara manusia dan alam.
Saya diminta menjadi salah invited speaker untuk menyajikan tulisan yang sudah lama ingin saya uji di forum akademik: sebuah kritik terhadap ekoteologi. Selama ini kita cenderung menerima wacana ekoteologi sebagai sesuatu yang indah, luhur, dan secara otomatis progresif. Padahal, jika dibaca dengan lebih teliti, ekoteologi kerap mengulang pola lama: idealisasi kosmos, romantisasi hubungan manusia-alam, dan pengaburan persoalan struktural yang justru menyebabkan kerusakan ekologis.
Konferensi ini memberi ruang bagi perdebatan semacam itu. Para pemakalah datang dari berbagai negara dan disiplin: fikih, pendidikan Islam, ekonomi syariah, hingga kajian Qur’an dan hadis. Diskusi yang mengemuka tidak hanya bersifat teologis, melainkan juga menyentuh isu ketidakadilan lingkungan, kebijakan publik, serta dinamika sosial yang membentuk cara umat memaknai alam.
ICIS 2025 sendiri dirancang sebagai platform global untuk mempertemukan gagasan-gagasan kritis tentang Islam dan keberlanjutan. Panitia merumuskan beberapa tujuan utama: menggali relasi Islam dan ekologi, menyoroti inovasi dalam pendidikan serta fikih lingkungan, membangun dialog lintas iman, dan memperkuat jejaring akademik agar isu keberlanjutan tidak berhenti sebagai retorika.
Konferensi dilaksanakan secara hybrid dari Howard Johnson Hotel Pekalongan, memungkinkan audiens yang lebih luas untuk terlibat dari berbagai negara. Bagi saya pribadi, kesempatan ini bukan sekadar berbagi kritik, tetapi juga menakar ulang posisi ekoteologi dalam peta pemikiran Islam kontemporer: apakah ia mampu menjadi basis perubahan nyata, atau justru perlu kita bongkar agar tidak menjadi selimut moral bagi problem ekologis yang bersifat struktural?
ICIS 2025 menjadi salah satu ruang penting untuk menguji ide, mempertajam argumen, dan terutama—menghindarkan lingkungan dari sekadar menjadi jargon spiritual yang kehilangan daya kritisnya.

Posting Komentar