Islamic, Jewish, and Secular Perspectives on “Loopholes”: A Symposium on Elana Stein Hain’s Circumventing the Law


Ada satu pertanyaan yang selalu menggelitik ketika kita berbicara tentang hukum agama: apakah umat beragama itu benar-benar taat hukum, atau taat pada cara mengelak dari hukum? Pertanyaan ini, yang bagi sebagian orang mungkin terdengar sinis, justru menjadi pintu masuk paling jujur untuk memahami bagaimana hukum bekerja dalam kehidupan nyata. Tidak terkecuali dalam tradisi Islam, dan tentu juga dalam Yahudi, yang sering disebut-sebut sebagai "saudara tua" dalam urusan legalisme.

Pertanyaan itu pula yang menjadi semangat sebuah simposium daring yang saya ikuti minggu ini—sebuah forum lintas tradisi yang membongkar cara masing-masing agama dan sistem hukum (Yahudi, Islam, dan sekuler) memperlakukan yang sering kita sebut loopholes: jalan tikus legal yang penuh kecerdikan, kadang penuh tipu daya, dan hampir selalu menyingkap alasan mengapa hukum yang “sakral” tidak pernah sesak napas oleh perubahan zaman.

Simposium ini mengambil titik tolak dari buku baru Elana Stein Hain, Circumventing the Law (University of Pennsylvania Press, 2024), yang membedah bagaimana hukum Yahudi memproduksi, merawat, dan mempertimbangkan sah-tidaknya berbagai bentuk ha’aramah, yaitu bentuk rekayasa hukum untuk menghindari larangan tanpa secara eksplisit melanggarnya.

Tentang acara dan sedikit kisah dari “ruang” simposium

Program dimulai dengan pengantar singkat sebelum masuk ke sesi-sesi utama. Rabea Benhalim membuka dengan tesis yang menarik: bahwa loopholes bukanlah “cacat” dalam hukum Yahudi dan Islam, tetapi justru fitur bawaan yang membuat hukum dapat hidup dan responsif. Saya menyimaknya dengan senyum tipis—karena betapapun kita ingin mengidealkan “kemurnian hukum”, sejarah selalu memenangkan pragmatisme.

Pada sesi berikutnya, Mark Cammack dan saya mempresentasikan makalah berjudul:

“Eluding God’s Law? Ḥiyal in Islamic Jurisprudence and Southeast Asian Practice.”

Dalam bahasa yang lebih sederhana: bagaimana umat Islam, dari masa klasik hingga pengadilan agama di Asia Tenggara hari ini, menemukan cara-cara kreatif untuk tetap berada di dalam hukum sambil sesekali berjalan di tepi hukum. Bukan untuk menipu Tuhan, tentu saja—tetapi untuk mengakali diri kita sendiri yang terlanjur terjerat aturan yang tak selalu kompatibel dengan kenyataan hidup.

Kami menunjukkan bahwa dalam tradisi fiqh, terutama dalam mazhab Hanafi dan Syafi’i, ḥiyal bukanlah praktik pinggiran. Ia adalah bagian dari keterampilan juristik: seni merancang ulang bentuk perbuatan agar substansi yang diinginkan tetap tercapai tanpa menabrak batas formal.

Di Indonesia sendiri, jejak ḥiyal tampak pada proses ṭalāq yang digeser ke ranah peradilan untuk alasan administrasi, serta pada berbagai instrumen keuangan syariah yang lebih banyak mengandalkan rekayasa kontrak ketimbang transformasi struktural. Sebuah praktik yang legal, rapi, dan kadang bahkan dianggap penuh hikmah—meski tetap menyisakan ironi halus bagi mereka yang gemar membaca lapisan-lapisan motif di balik formalisme hukum.

Setelah sesi kami, para pembicara lain—Deborah Barer, Adam Chodorow, Leo Katz—membawa diskusi ke ranah yang memperkaya sudut pandang: mulai dari dinamika retorika para rabi, hingga bagaimana loopholes juga menjadi bagian dari hukum pajak federal di Amerika Serikat. Ya, bahkan negara modern tidak pernah sungguh-sungguh kebal dari kebutuhan untuk “mengelak dengan elegan”.

Pada akhirnya, Elana Stein Hain sendiri menutup diskusi dengan menekankan bagaimana perubahan pemahaman tentang niat—dari yang objektif-performatif menuju yang subjektif-intim—mengubah batas antara legalitas dan integritas dalam tradisi Yahudi.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama