Academic Writing ITB: Cara Menghindari Plagiarisme


Ada semacam ironi yang selalu muncul setiap kali saya diminta bicara tentang plagiarisme. Di satu sisi, plagiarisme adalah dosa akademik paling tua—lebih tua dari perdebatan fikih tentang riba dan lebih keras hukumnya daripada sebagian larangan sosial. Di sisi lain, plagiarisme tetap hidup dengan sehat, bahkan subur, di era ketika kampus dan lembaga riset berlomba-lomba mengibarkan jargon “integritas akademik”.

Barangkali karena plagiarisme, seperti juga kebiasaan buruk lainnya, tidak pernah mati hanya dengan seruan moral. Ia hilang hanya kalau kita bisa melihat mekanismenya, menelanjangi cara kerjanya, lalu memotong jalur yang membuat kita tak sengaja ataupun sengaja jatuh ke lembah itu.

Itulah yang saya bicarakan dalam Workshop Academic Writing Series SBM ITB pada 14 November 2025—sebuah sesi pagi yang cukup padat, tiga jam lebih, tetapi justru menyenangkan karena kita membahas sesuatu yang sering dianggap remeh, padahal efeknya bisa fatal: bagaimana menghindari plagiarisme.

Dari berbagai kasus yang saya temui—baik sebagai editor jurnal, pengajar, atau sekadar orang yang sering ditanya—plagiarisme jarang sekali muncul karena pelakunya jahat. Biasanya karena:

  • tidak tahu cara parafrase
  • bingung menulis kutipan
  • lupa mencatat sumber saat mencatat poin
  • mengira “kan hanya kalimat umum, bukan teori”
  • percaya pada mitos bahwa “kalau sudah ganti diksi, berarti aman”

Di ruang kelas daring SBM ITB itu, saya mencoba mengurai kembali hal-hal dasar: bagaimana pikiran orang lain harus ditandai, bagaimana ringkasan beda dari parafrase, dan bagaimana Mendeley atau Zotero bisa menyelamatkan banyak orang dari kesalahan yang tidak perlu.



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama