Dalam proses menjadi manusia, kita pasti melewati banyak momentum-momentum pertama — semacam tonggak kecil yang menandai perjalanan hidup kita. Pertama kali melangkah, pertama kali bicara, pertama kali jatuh, pertama kali berpisah, dan seribu satu “pertama” lainnya yang membentuk siapa diri kita hari ini. Tidak semua mungkin kita ingat dengan jelas; sebagian hanya terekam samar dalam cerita orang lain, dalam foto lama, atau dalam rasa yang tak bisa dijelaskan. Namun setiap “pertama” itu punya makna sendiri — kecil bagi dunia, tapi besar bagi perjalanan pribadi.
Minggu lalu, saat naik pesawat pulang dari Jakarta, saya mengalami satu lagi “pertama” yang tidak akan saya lupakan. Saya duduk sebaris dengan sepasang suami-istri muda. Posisi saya di pinggir lorong, sang suami duduk di tengah, dan istrinya di sisi jendela. Bersama mereka ada seorang bayi mungil yang sedang lucu-lucunya — usia 1,5 tahun, begitu kata ibunya. Kadang si kecil dipangku bapaknya, kadang berpindah ke pangkuan ibunya. Ia aktif luar biasa, ingin menyentuh apa saja yang tampak menarik di sekitarnya. Omongannya baru satu dua patah kata, tapi ekspresi wajahnya berbicara banyak.
Beberapa kali, ketika dipangku bapaknya, ia berusaha meraih HP yang sedang saya baca. Tangannya mungil tetapi gesit, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Saya pun membuka masker, lalu spontan berkata, “Cilukba... 😊” Si bayi terdiam sejenak, menatap saya dengan ekspresi antara kaget dan bingung — campuran antara takut, kagum, dan rasa penasaran khas anak kecil yang baru belajar mengenal dunia.
Namun yang membuat saya justru lebih terkejut bukanlah reaksi si bayi, melainkan ucapan bapaknya. Dengan senyum dan bercanda, ia berkata, “Ah, adik ingin kenal sama kakek, ya?” Kalimat yang pasti ia pilih dengan seksama, sederhana, ringan, tapi langsung menohok ke dada saya. Saya diam sepersekian detik, mencoba mencerna kata “kakek” yang baru pertama kali dialamatkan kepada saya. Ternyata, momentum itu tiba juga — pertama dipanggil kakek.
Dulu saya pernah kaget saat pertama kali dipanggil “Pak”. Rasanya seperti melompat ke fase hidup baru tanpa sempat berpamitan pada masa remaja. Kini, saya kembali kaget, tetapi dengan rasa yang saya kira berbeda. Ada kesadaran yang pelan-pelan menua bersama waktu. Saya sadar betul, anak mbarep saya sudah wisuda. Jika ia menikah, insyaallah, dan dikaruniai anak tak lama lagi saya akan sungguh-sungguh menjadi kakek "biologis", meski jiwa selalu muda😄
Maka, peristiwa kecil itu menjadi semacam pengingat lembut dari Tuhan: bahwa waktu berjalan tanpa kita sadari, tetapi selalu meninggalkan jejak. Lain kali kalau Pak Abdul Sattar — atau siapa pun — bilang, “Akhi ini awet muda, dari kuliah dulu wajahnya begini terus, nggak pernah menua,” saya tahu pasti itu cuma basa-basi. Mungkin beliau sekadar menjaga perasaan, atau jaga-jaga kalau suatu hari saya malah jadi presiden dan beliau berharap diangkat jadi komisaris. 😄😄
It is fine anyway — setiap fase hidup punya pesonanya sendiri. Kalau dulu saya sibuk mengejar cita-cita, kini saya harus belajar menikmati hasilnya. Kalau hari ini pertama kali dipanggil kakek, saya akan menerimanya dengan senyum — karena itu artinya saya masih terus diberi waktu untuk mencintai hidup dan disapa dengan cara-cara baru yang penuh makna.

Posting Komentar