Ruang Merokok itu Membungkam Saya


Minggu lalu saya ada kuliah di lantai 4. Selesai mengajar, saya turun lewat tangga timur gedung FDK. Tepat di turunan lantai 3, saya melihat sekelompok mahasiswa sedang santai merokok. Langit gelap, hujan deras sore itu seperti menciptakan latar sempurna bagi para perokok: udud, klepas-klepus, dengan segelas kopi panas sebagai pelengkap.

Biasanya saya tak ragu menegur. Saya akan katakan langsung bahwa ini lingkungan pendidikan, asapnya menganggu orang lain, atau haram merokok di sini. Tak segan saya usir mereka agar pindah ke tempat parkir. Sore itu, hanya saja, saya kehilangan moral untuk menegur. Bukan karena takut. Bukan pula ragu. Tapi karena tepat di belakang tempat mereka duduk, ada sebuah ruang kecil—ruang yang belum lama ini kami desain sebagai ruang merokok bagi dosen dan tenaga kependidikan.

Ini semacam "ruang kompromi." Sebelum saya menjabat, ada beberapa area yang dipakai tongkrongan dosen dan tendik untuk merokok. Terbuka, tanpa sekat, tanpa batas. Asapnya ke mana-mana. Pemandangannya juga bikin tidak nyaman. Maka kami buatkan ruang khusus, tertutup, agar ada sedikit kendali. Supaya asapnya tidak lagi mengalir ke ruang-ruang kelas dan kampus punya wibawa.

Tapi rupanya, kompromi itu punya masalahnya sendiri. Seperti sore ini. Ruang itu seperti membungkam saya dari kemampuan menegur mahasiswa. Bayangkan, kalau saya bilang (seperti sebelumnya) bahwa ini lingkungan pendidikan, mereka tinggal membalikkan badan dan menunjuk ke balik pintu itu: “Tapi, Pak… di situ boleh, kan?”

Kekuatan menegur itu bersumber dari kekuatan moral, bukan legal, apalagi cuma otoritas kedekanan. Ia harus lahir dari integritas penegur, bukan dari aturan, yang sebenarnya sudah lama melarang. Dan di titik itulah integritas saya goyah. Saya tidak bisa menuntut mahasiswa menaati sesuatu yang dilanggar diam-diam—atau bahkan terang-terangan—oleh para dosen dan tendik di sekitar mereka.

Sudah berkali-kali komplain soal rokok kami dengar: asap rokok di lorong, kotoran di toilet, mahasiswa merokok di depan kelas sambil menunggu dosen. Keluhan itu seperti menguap begitu saja. Sebab, yang kami hadapi bukan cuma mahasiswa, tapi kolega kami sendiri. Para pegawai, para dosen, yang merokok dengan seribu satu dalih: hak pribadi, kebutuhan bersosial, pelepas stres, apapun lah yang bisa membenarkan praktik merokok di area kampus.

Sebagai dekan, saya sadar bahwa saya tak bisa melarang dengan paksa. Maka, izinkan saya memohon kepada Anda para perokok, di UIN atau di luar sana, tolonglah hormati orang lain. "I beg your" kesadaran. Please. Please. Please. Bahwa kampus adalah lembaga pendidikan. Bahwa ruang-ruang kita semestinya bebas dari asap rokok. Bahwa Anda punya alasan yang kuat untuk merokok, boleh. Tetapi menjadi teladan mahasiswa jauh lebih penting daripada merasa paling benar soal rokok.

Sebab, selama para dosen dan pegawai belum bisa mengakui bahwa merokok di kampus itu keliru, kita tahu... kita akan terus kehilangan moral untuk menegur mahasiswa.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama