Khutbah Idul Adha 1446 H


Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Hari ini kita merayakan salah satu hari raya terbesar dalam Islam—hari raya Idul Adha, hari raya pengurbanan dan ketundukan. Hari ketika kita mengenang momen terbesar dalam sejarah ketaatan manusia: ketika seorang ayah rela mengorbankan anaknya, dan seorang anak rela menyerahkan dirinya, demi dan hanya untuk satu hal: taat kepada perintah Allah.

Tetapi seperti banyak kisah dalam agama ini, pelajaran kurban bukan hanya milik masa lalu. Kurban dan pesan-pesan luhurnya hidup hingga hari ini. Ia menyapa kita kita dalam bahasa kehidupan, dalam keputusan-keputusan harian, dan dalam cara kita mengatur hidup bersama dan beragama.

Beberapa waktu lalu saya menyampaikan sebuah pesan kepada seorang sahabat yang hendak berangkat haji. Saya bisikkan kepadanya, “Jaga kesehatan. Jangan terlalu rajin beribadah. Secukupnya saja, agar bisa menyelesaikan seluruh rukun manasik haji dengan sempurna. Kemudian pulang dengan selamat, berkumpul kembali dengan keluarga di Indonesia.”

Pesan untuk tidak terlalu rajin beribadah ini mungkin terdengar aneh, bahkan keliru. Tetapi percayalah, bahwa itu adalah pesan yang lahir dari pengalaman dan kasih sayang. Sebab haji bukan hanya ibadah spiritual, tetapi juga perjalanan fisik, ujian mental, dan tantangan sosial yang berat dan nyata.

Bayangkan saja: mayoritas jamaah haji kita belum pernah bepergian jauh, mungkin baru pertama kali naik pesawat, pertama kali tinggal lama di luar negeri, pertama kali lama meninggalkan kampung halaman dan orang-orang terdekat. Saat ini, suhu di Makkah berkisar antara 30 derajat di malam hari, hingga 40 derajat di siang hari. Mereka harus beradaptasi dengan makanan, bahasa, tata ruang kota, dan ritme ibadah yang padat.

Bukan sekali dua kali saya mendengar cerita tentang jamaah yang tumbang sebelum atau sesudah haji karena terlalu bersemangat mengejar pahala dan memaksakan diri. Lima hari lalu, artinya haji belum ditunaikan, saya dapat kabar dari tanah suci: seorang sahabat saya harus menjalani operasi karena kaki bengkak setelah mencoba menyelesaikan program umrah delapan kali dari KBIHU yang diikutinya.

Padahal, hadirin yang dimuliakan Allah, sekali umrah saja, yang di dalamnya ada ibadah thawaf dan sa’i, orang minimal harus berjalan kaki sampai 7-8 KM. Itu kalau beruntung bisa Sa’i di dekat ka’bah, kalau ia harus Sa’i di lingkaran terluar atau di lantai dua, bisa lebih 10 km per umroh! Belum lagi, masih perlu mobilitas dari hotel ke masjid yang jaraknya kalau di Indonesia pasti kita tempuh dengan naik ojol daripada jalan kaki.

Agama ini tidak pernah meminta kita menyiksa diri. Rasulullah ï·º bersabda:

Ø¥ِÙ†َّ الدِّينَ ÙŠُسْرٌ، ÙˆَÙ„َÙ†ْ ÙŠُØ´َادَّ الدِّينَ Ø£َØ­َدٌ Ø¥ِÙ„َّا غَÙ„َبَÙ‡ُ

“Agama ini mudah. Barang siapa yang menyulitkan agama, ia akan repot sendiri.” (HR. Bukhari)

Dalam Islam, ada prinsip yang sangat agung: tawassuth, tawazun, ta’adul —jalan tengah, proporsionalitas, secukupnya, sewajarnya. Agama itu bukan tentang siapa paling banyak thawaf, paling sering umrah, atau paling banyak berkurban. Tetapi siapa yang paling tulus, ikhlas, dan taat dalam melaksanakan perintah Allah.

Ma’asyiral Muslimin,

Prinsip ini juga berlaku dalam ibadah kurban. Tahun ini adalah tahun yang berat bagi banyak orang di Indonesia dan mungkin seluruh dunia. Kita semua terdampak krisis ekonomi akibat perang dagang Amerika dan efisiensi. Tetapi dalam situasi seperti ini, saya melihat ada orang dan beberapa lembaga seperti “memaksakan diri” agar tetap bisa berkurban. Bahkan ada kantor, kampus, sekolah yang seperti mewajibkan unit-unit atau pegawainya untuk iuran, demi bisa menampilkan --katanya-- syiar ibadah kurban seperti tahun-tahun sebelumnya.

Padahal hukum kurban adalah sunnah muakkadah, bukan fardhu ‘ain. Menurut mazhab Syafi’i kurban hanya disunnahkan seumur hidup sekali. Tidak ada teks yang menyuruh lembaga, kantor, atau sekolah berkurban. Yang disunnahkan adalah individu yang mampu, satu keluarga cukup satu orang.

Kita perlu jujur bertanya: apakah memaksakan diri untuk berkurban itu sesuai dengan semangat Ibrahim? Apakah Ismail disiapkan untuk dipersembahkan kepada publik? Apakah pengorbanan mereka dilakukan demi syiar menjaga reputasi dakwah Sang Nabi? Tentu tidak. Ibrahim dan Ismail adalah simbol totalitas kepatuhan, bukan perlombaan pengorbanan. Allah berfirman:

Ù‚َدْ صَدَّÙ‚ْتَ الرُّؤْÙŠَا ۚ Ø¥ِÙ†َّا ÙƒَذَٰÙ„ِÙƒَ Ù†َجْزِÙŠ الْÙ…ُØ­ْسِÙ†ِينَ

“Engkau telah membenarkan mimpimu, wahai Ibrahim. Sungguh demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ash-Shaffat: 105)

Dalam praktiknya Allah pun mengganti Ismail dengan seekor domba. Mengapa? Karena yang Allah kehendaki bukan darah dan daging. Tapi ketundukan dan keikhlasan mereka.

Ù„َÙ† ÙŠَÙ†َالَ اللَّÙ‡َ Ù„ُØ­ُومُÙ‡َا ÙˆَÙ„َا دِÙ…َاؤُÙ‡َا، ÙˆَÙ„َٰÙƒِÙ† ÙŠَÙ†َالُÙ‡ُ ٱلتَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ٰ Ù…ِنكُÙ…ْ

“Daging dan darah itu tidak akan sampai kepada Allah, tapi yang sampai kepada-Nya adalah takwa kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)

Ma’asyiral Muslimin,

Jangan sampai kita menjadikan ibadah sebagai beban. Jangan menjadikan sunnah sebagai kewajiban. Jangan menjadikan pengorbanan sebagai panggung ketenaran. Ibadah itu kesadaran, bukan kompetisi. Ibadah itu jalan pulang kepada Allah, bukan jalan mencari pengakuan masyarakat.

Barakallah li wa lakum ...


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama