Catatan Kritis untuk Zakat Progresif


Sudah cukup lama umat Islam di Indonesia tidak diajak berdiskusi lagi secara progresif dan berani tentang zakat. Sejak Kiai Masdar Farid Mas’udi menerbitkan Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, sepertinya belum banyak karya yang menyusul dengan keberanian untuk membongkar stagnasi fikih zakat dan mengembalikannya kepada semangat aslinya—yaitu sebagai instrumen keadilan sosial dan pemberdayaan mustaḍ‘afīn. Dalam konteks inilah, buku Fiqh Zakat Progresif karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir hadir sebagai sumbangan yang amat penting. Buku ini bukan hanya mengajak kita merevisi angka, nisab, dan kategori zakat, tetapi lebih jauh daripada itu juga mengajak kita menata ulang kerangka berpikir kita tentang zakat dengan pendekatan maqāṣid asy-syarī‘ah dan mubādalah—dua pendekatan yang saling menopang dalam mewujudkan keadilan substantif.

Gagasan utama yang diusung adalah paradigma zakat progresif, yakni kadar zakat disesuaikan dengan tingkat kekayaan, sehingga petani kecil tidak diperlakukan sama dengan pengusaha besar. Kritik juga diajukan terhadap ketimpangan nisab, terutama perbandingan antara hasil pertanian dan emas, yang dinilai tidak adil bagi petani miskin. Objek zakat diperluas mencakup penghasilan modern seperti saham, aset digital, dan jasa kontemporer, sejalan dengan perkembangan fatwa mutakhir. Buku ini juga mengusulkan pendekatan inklusif, termasuk kemungkinan zakat diberikan kepada dan diterima dari non-Muslim demi keadilan dan kemaslahatan. Lebih jauh, buku ini menekankan kesetaraan gender dengan pengakuan penuh terhadap peran perempuan sebagai muzakki, mustahiq, dan amil, melalui pendekatan tafsir mubādalah yang khas dan belum banyak dibahas dalam literatur zakat lainnya.

Dengan fondasi ini, Fiqh Zakat Progresif telah menyusun ulang peta zakat bukan hanya sebagai ibadah, tetapi juga sebagai bagian dari sistem ekonomi-politik Islam yang hidup, berpihak, dan membebaskan. Kita harus merayakan gagasan-gagasan ini dalam ruang-ruang diskusi keagamaan kita. Karena itu, izinkan saya untuk memulainya dengan beberapa catatan kritis.

Ketidaktuntasan Gagasan: Ketika Negara Dianggap Netral

Di tengah keberanian intelektual yang luar biasa itu, saya merasa bahwa buku ini menyisakan satu posisi yang perlu dikritisi: sikap terhadap peran negara dalam pengelolaan zakat. Ini tema lama yang semakin relevan untuk dijawab. Buku Kiai Masdar sudah pernah membahasnya dan Kiai Faqih menyatakan, “Dalam konteks kelembagaan, zakat idealnya dikelola oleh negara yang adil, profesional, dan transparan.” (hal. 16). Beliau tampaknya percaya kepada negara dan karena itu zakat “idealnya” dikelola oleh negara, bukan masyarakat sipil keagamaan. 

Kepercayaan itu, hanya saja, disertai dengan kehati-hatian. Sebab, beliau juga mengatakan, “Namun, dalam situasi ketika negara belum memiliki kapasitas atau tidak menunjukkan akuntabilitas, masyarakat sipil memiliki legitimasi untuk mengelola zakat secara mandiri dan bertanggung jawab.” (hal. 16). 

Bagi saya, pernyataan ini tampak moderat, tetapi sebenarnya menyisakan ambiguitas normatif yang tidak tuntas. Siapa pemilik sah zakat menurut beliau: negara atau umat? Apakah negara by default memiliki hak pengelolaan zakat? Ataukah hanya ketika diberi amanah oleh umat?

Sikap ini menjadi lebih problematik ketika kita ingat bahwa Kiai Faqih adalah pengusung pendekatan mubādalah dalam fikih. Maka pertanyaan kritis yang layak diajukan: mengapa ketika membahas relasi laki-laki dan perempuan, pendekatan mubādalah dijalankan secara radikal dan setara, tetapi ketika membahas relasi umat dan negara, ia justru kembali ke posisi kompromi? Nanti kita akan kembali ke topik mubadalah ini. 

Menolak Hak Negara atas Zakat

Saya kebetulan pernah menulis teks khutbah tentang topik ini dan saya kirimkan ke Kiai Faqih saat beliau menyola perna negara di Facebook. Dalam khutbah itu saya berargumen untuk menolak gagasan pengelolaan zakat oleh negara dan menjadikan zakat atau filantropi islam secara umum sebagai kemandirian umat vis-a-vis negara. Tiga argumen saya ajukan waktu itu. Pertama, argumen historis. Pada masa Orde Baru, negara telah terbukti menggunakan kekuasaannya untuk menekan umat Islam. Organisasi keagamaan dikendalikan, madrasah dikerdilkan, pesantren dijauhkan dari sumber daya. Namun umat tetap bertahan—karena mereka mengelola zakat, sedekah, dan wakaf secara mandiri. Bahkan panti asuhan dan madrasah dibiayai dengan zakat umat sendiri. Bagi saya, pengalaman ini adalah bukti konkret bahwa filantropi Islam adalah instrumen resistensi, dan jika zakat diserahkan sepenuhnya kepada negara, maka umat kehilangan alat perlawanan terhadap kekuasaan hegemonik.

Kedua, argumen filosofis yang kebetulan selaras dengan argumen syar’i. Dalam ilmu politik, Lord Acton—seorang sejarawan dan politikus Inggris abad ke-19— pernah mengatakan, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and not authority..." (Kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan yang absolut merusak secara absolut. Orang-orang besar hampir selalu orang jahat, bahkan ketika mereka hanya memiliki pengaruh, bukan kekuasaan langsung). Menurutnya, kekuasaan membawa godaan yang kuat untuk disalahgunakan, dan bahwa otoritas tidak boleh kebal dari kritik hanya karena statusnya tinggi.

Ini selaras dengan pesan nabi dan Khalifah ‘Umar. Rasulullah ﷺ memperingatkan, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Sementara Umar bin Khattab juga berkata, ““Jika para ulama rusak, maka rakyat akan rusak. Dan jika para penguasa rusak, maka seluruh umat akan rusak.” Kekuasaan tidak boleh dipercaya tanpa kontrol. Dalam konteks zakat, ini berarti bahwa dana umat tidak bisa diserahkan ke negara tanpa partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi. 

Ketiga, argumen keadilan sosial. Kita harus bertanya: apakah negara selama ini sudah menunaikan kewajiban sosialnya kepada rakyat, khususnya kepada ke sektor-sektor keumatan? Apakah madrasah dan guru ngaji sudah sejahtera? Jika belum, mengapa zakat harus diarahkan ke proyek pemerintah? Bukankah lebih adil jika zakat dikembalikan ke umat yang masih banyak kekurangan?

Di luar tiga argumen yang pernah saya khutbahkan itu, kita sebaiknya juga mengingat bahwa dalam kerangka paradigma kebangsaan Islam Indonesia—seperti yang dirumuskan oleh Nahdlatul Ulama sejak 1930-an—negara Indonesia sebenarnya “bukan negara Islam” secara syar‘i. Pemerintah negara ini disebut waliyul amri ad-daruri bisy-syaukah: pemegang kekuasaan darurat yang keberadaannya sah demi mencegah kekacauan.

Dalam kaidah fikih dikatakan  الضرورة تقدر بقدرها (Keadaan darurat dibatasi sesuai kadarnya). Artinya, kalau pun negara—seperti seperti yang selama ini sudah terjadi—mengelola zakat, maka ia hanya mengelola zakat karena mendapat mandat dari umat. Dalam paradigma waliyul amri ad-daruri bisy-syaukah, pengelolaan zakat oleh umat—melalui LAZ independen, ormas seperti NU dan Muhammadiyah—bukan hanya sah, tetapi lebih dekat kepada al-asl dan maqāṣid.

Konsistensi Mubādalah: Umat vs Negara

Oleh sebab itu, saya malah ingin mengajak Yai Faqih untuk menggunakan pendekatan mubādalah-nya hingga ke ranah relasi umat dan negara. Kita tahu bahwa mubādalah bukan hanya metode tafsir, tetapi juga cara pandang—yakni paradigma keilmuan yang berangkat dari prinsip kesalingan, partisipasi, dan distribusi keadilan secara sejajar. Dalam konteks relasi gender, mubādalah menolak dominasi laki-laki atas perempuan; dalam konteks relasi sosial, ia menolak ketimpangan antara yang memiliki kuasa dan yang terpinggirkan.

Maka menjadi agak ironis ketika dalam isu pengelolaan zakat oleh negara, buku ini seperti mengambil posisi “kondisional” tadi: negara boleh mengelola zakat asalkan adil dan profesional; kalau tidak, baru masyarakat sipil bisa mengambil alih. Sekali lagi, secara praktis, ini tampak moderat dan bijak. Tapi secara normatif dan epistemologis, pendekatan ini mengaburkan batas antara “pemilik sah” zakat dan pengelola yang sah. Apakah negara memiliki hak karena ia negara? Atau hanya diizinkan sejauh umat memberinya amanat?

Kita tidak bisa membangun kerangka etik keadilan berbasis mubādalah di satu sisi—lalu tetap membiarkan struktur relasi vertikal yang membiarkan negara mengatur zakat dari atas ke bawah di sisi lain. Relasi dominatif tetaplah relasi dominatif, apakah pelakunya suami terhadap istri, atau negara terhadap umat.

Maka catatan ini tidak ditujukan untuk melemahkan buku yang kaya dan berani ini. Justru sebaliknya, agar pembaruan fikih zakat benar-benar berjalan konsisten hingga ke akar. Kita tidak bisa bicara zakat progresif tetapi masih bertumpu pada struktur otoritas yang stagnan. Kita tidak bisa memperjuangkan keadilan berbasis mubādalah di hilir, sementara di hulu kita tetap menyerahkan kendali kepada kekuasaan yang—dalam sejarah dan praktiknya—sering kali justru menjadi sumber ketimpangan itu sendiri.

Negara Sebagai Regulator dan Pengawas, Bukan Pengelola

Seperti dikatakan buku ini bahwa Indonesia menganut model pengelolaan zakat ganda: BAZNAS sebagai lembaga negara dan LAZ sebagai representasi masyarakat sipil. Model ini membuka ruang partisipasi, namun peran ideal negara bukanlah sebagai pengelola zakat, melainkan sebagai regulator dan pengawas. Negara, menurut saya, cukup membuat regulasi yang adil bagi mustaḍ‘afīn, memberi izin operasional kepada LAZ yang memenuhi syarat, serta mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan dana zakat—baik oleh aparatur negara maupun lembaga sipil.

Pengawasan negara penting agar zakat dikelola secara akuntabel dan amanah, tanpa dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Sebab zakat bukan milik negara, melainkan hak umat. Zakat progresif adalah cita-cita besar yang harus dijaga dari kemungkinan pembajakan oleh kepentingan kuasa. Ia harus menjadi kekuatan pembebas, bukan penunduk; memperkuat suara yang lemah, bukan memperkaya yang sudah berkuasa.

Saya menulis kritik ini bukan untuk membantah buku ini, tetapi sebagai sharḥ dan pelengkap. Agar jalan “progresif” yang telah dibuka buku ini benar-benar sampai pada ujungnya: sebuah sistem zakat yang adil, partisipatif, dan berpihak kepada mereka yang selama ini tak terdengar suaranya.

Wallahu a’lam


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama