Kemarin saya menonton video seorang dokter di Amerika yang menjelaskan tentang proses penuaan. Namun, sebelum masuk ke materi, ia mengatakan:
“Saya seorang dokter, tapi saya bukan doktermu. Untuk urusan kesehatanmu, konsultasi ke doktermu.”
Pernyataan ini terdengar sederhana, namun menarik: si dokter membatasi perannya, mengakui adanya konteks individual, serta menghormati hak setiap orang atas keputusan yang menyangkut dirinya. Ini ya etis banget!
Saya pikir-pikir, mengapa sikap seperti ini jarang kita temui dalam dunia keulamaan atau dakwah? Seringkali, seorang kiai atau penceramah agama merasa berhak memberi fatwa umum, berlaku mutlak, tanpa mengenali konteks orang per orang jamaahnya.
Padahal, dalam tradisi Islam, kita mengenal prinsip bahwa hukum agama tidak tunggal dan mutlak dalam aplikasinya. Dalam ushul fiqh, dikenal kaidah al-ḥukm yadÅ«ru ma‘a ‘illatihi wujÅ«dan wa ‘adaman — bahwa hukum itu bergantung pada illat-nya, pada konteks yang menyertainya.
Kita pun mengenal riwayat-riwayat tentang Rasulullah Muhammad SAW yang memberikan jawaban berbeda atas pertanyaan yang tampaknya sama, tergantung siapa yang bertanya. Anak muda yang kuat dan gagah dianjurkan berjihad, sementara orang lainnya diminta untuk merawat orang tuanya. Nabi tidak memberikan satu resep untuk semua orang, melainkan mengajarkan kita pentingnya sensitivitas terhadap al-mustaftÄ« — pihak yang meminta fatwa.
Sayangnya, dalam konteks kekinian, diskursus keagamaan justru cenderung mengabaikan keberagaman audiens. Dakwah di YouTube atau TikTok, misalnya, bersifat seragam, viral, dan sering lepas dari kerangka relasi antara guru dan murid, antara kiai dan santri, antara pembimbing spiritual dan jamaah.
Maka tidak mengherankan jika orang kecewa terhadap gaya berdakwah sejumlah tokoh yang dianggap “terlalu bebas” atau “tidak sesuai selera”. Namun sesungguhnya, persoalannya bukan pada gaya, melainkan pada kegagalan kita membedakan konteks. Gus Iqdam ya hanya cocok untuk jamaahnya. Gus Miftah ya beda dengan Gus Maftuh 

Sikap ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh jamaah, tetapi juga oleh para ulama itu sendiri. Si kiai juga bisa dengan bijak mengatakan: “Saya kiai, tapi bukan kiaimu. Untuk urusan agama dan kehidupanmu, silakan diskusi dengan kiai yang mengenalmu lebih dekat.” Pernyataan ini bukan untuk lepas tanggung jawab, melainkan bentuk etika tinggi: kesadaran bahwa nasihat agama bukan produk massal, tetapi hasil interaksi spiritual yang mendalam.
Dengan kesadaran ini, diskursus keagamaan kita bisa menjadi lebih beradab, lebih empatik, dan lebih relevan bagi umat yang beragam. Dalam dunia yang semakin kompleks, kita butuh lebih banyak “kiai yang etis” — bukan hanya yang fasih berbicara, tetapi yang bijak menahan diri.
Posting Komentar