Khutbah Jumat dengan Bahasa Non-Arab


Saat ini, mungkin kita sudah terbiasa melihat praktik salat Jumat yang khatibnya berceramaha dengan khutbah dalam Bahasa jawa atau Bahasa Indonesia. Tidak demikian halnya di masa dulu. Karena Khutbah adalah rukun shalat Jumat, pengganti dua rakaat zuhur, maka kesakralan khutbah bisa dinggap setara dengan salat. Jika salat tidak boleh menggunakan bahasa selain Arab, bagaimana dengan khutbah Jumat yang dihitung mengganti salat dua rakaat? Jawaban Muktamar 1 (1926) ini menarik untuk disimak.

Pertanyaan: Bolehkah menerjemahkan khotbah Jumat selain rukunnya atau beserta rukunnya? Bila diperbolehkan apakah yang terbaik dengan bahasa Arab saja atau beserta terjemahnya? Bila yang terbaik beserta terjemahnya apakah faedahnya?

Jawaban: Menerjemahkan khotbah Jumat selain rukunnya itu boleh sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab mazhab Syafi’i. Dan Muktamar memutuskan bahwa yang terbaik adalah khotbah dengan bahasa arab Kemudian diterangkan dengan bahasa yang dimengerti oleh hadirin. Adapun faedahnya ialah: supaya hadirin mengerti petuah-petuah yang ada dalam khotbah.

Referensi

Al-Hawasyi al-Madaniyah ala Syarh Bafadhal, II/64

وَكَوْنُهُمَا بِالْعَرَبِيَّةِ وَإِنْ كَانَ الْكُلُّ أَعْجَمِيْنَ لإِتبَاعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ (قَوْلُهُ بِالْعَرَبِيَّةِ) أَي الْأَرْكَانُ دُوْنَ مَا عَدَاهَا قَالَ يُفِيدُ أَنَّ كَوْنَ مَا عَدَا الأَرْكَانَ مِنْ تَوَابِعِهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَا يَكُونُ مَانِعًا مِنَ الْمُوَالَاةِ


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama