Mengunjungi Sinagoge Ramah Difabel

Berjalan 600 meter dari rumah Yudi (sebut saja begitu), teman baru saya, sampailah kami di tujuan. Beberapa orang sudah di situ, menunggu di pintu menyambut kedatangan setiap jamaah. 

Saya segera menemukan apa yang saya tuju, sebuah rampa di sebelah kanan pintu menuju ke dapur di ujung. Karena ini waktu Shabbat, saya minta izin ke Yudi apakah bisa menyalakan kamera. Ia mengizinkan dan saya segera mengambil gambar, menelusuri rampa sampai ke ruangan bersekat kain. 

Saat saya melihat-lihat ruangan itu, Yudi menyusul. Ia bawakan sebuah kipah (kopiah Yahudi) berukuran kecil untuk saya pakai. Karena tidak tahu cara pasangnya, saya minta Yudi untuk memasangkan. Selesai, ia bilang, “Now, you look like the native.” Hahaha. 

Ia lalu mengajak saya untuk masuk ke ruangan ibadah yang sesungguhnya. Letaknya ada di lantai dua. Nah, di sini terlihat lagi cara berpikir arsitektur yang inklusif. Satu-satunya akses ke lantai dua adalah dengan rampa. Entah si jamaah menggunakan kursi roda atau tidak, semua orang lewat pintu yang sama: rampa. 

Di masjid UIN, Anda bisa melihat arsitektur semisal di sebelah pintu masuk utara. Berbeda dengan sinagoge ini, Masjid UIN merancang jalur eksklusif untuk pengguna kursi roda. Di sinagoge ini, semua orang lewat rampa. Masuk tempat ibadah bareng-bareng, keluar juga setara.

Begitu berada di depan pintu ruang ibadah utama, Yudi meminta saya mematikan kamera. Tetapi sebelum memasuki ruangan, ia tunjukkan selembar kertas folio tertempel di pintu sinagoge dalam bahasa Ibrani. Isinya adalah fatwa dari seorang rabbi tentang hukum penggunaan alat bantu dengar elektronik ketika beribadah Shabbat. 

Selain itu, fasilitas akses yang ada di dalam sinagoge adalah pada aksesibilitas mimbar “khutbah”. Di dalam ruang ibadah itu terdapat dua mimbar. Satu di depan, dengan ukuran yang lebih kecil, ada di dekat dengan altar. Sementara mimbar kedua ada di tengah ruangan, di tengah-tengah antara jamaah laki-laki dan perempuan. Kedua mimbar ini aksesibel. Mimbar yang di altar dapat diakses dengan rampa; sementara yang di tengah diberi fasilitas rampa geser ketika diperlukan.

Keunggulan masjid UIN dibandingkan dengan sinagoge ini ada di layanan Bahasa Isyarat. Seperti kita tahu, sejak 2014 kita menyediakan layanan Bahasa Isyarat pendamping khatib untuk membantu jamaah Tuli agar dapat mengikuti khotbah sesuai syarat dan ketentuan ibadah Jumat. Sinagoge ramah difabel ini belum menyediakan juru bahasa isyarat.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama