Laila dan Majnun, Indonesia dan Israel


Saat kami berkenalan dan ketika saya menyebut bahwa saya berasal dari Indonesia, Pak David langsung teringat masa mudanya dulu dan mengisahkan kunjungannya ke Bali. Seperti orang Israel lain, ia hanya bisa mengunjungi Bali dengan paspor non-Israel. 

Begitu tiba di penginapannya, seseorang datang memperkenal diri. Sebut saja namanya Soleh karena ia seorang Muslim. Mas Soleh bertanya penuh selidik, "Benar ya, Anda orang Israel?" Meski masuk dengan Paspor non-Israel, Pak David tidak berniat menutupi identitasnya. Dengan sedikit khawatir ia menjawab, "Ya." Perkenalan hanya singkat dan mereka berpisah.

Saat malam tiba dan ia hendak istirahat, pintu kamarnya diketok orang, "Siapa di luar?" Tamu tak diundang itu menjawab, "Saya, Soleh."

Pak David membuka pintu kamarnya. Ia temui Soleh di luar kamar. Pak David tentu saja tambah khawatir. Sekarang mereka hanya berdua.  Menghadapi orang Islam, di negara yang tidak ramah sekali terhadap Israel, apa yang akan dialaminya?

Soleh mengulangi pertanyaan tadi, “Benar, Anda orang Israel?”

“Ya. Benar,” jawab Pak David. 

“Anda bisa bahasa Ibrani?” tanya Soleh.

“Tentu saja!” jawab Pak David. 

“Bisa membaca aksara Ibrani?” Soleh masih menghujani pertanyaan tanpa menyebut maksudnya apa.

“Pasti!” Jawab Pak David tambah penasaran. 

Mendengar jawaban itu, Soleh mengambil sesuatu dari kantong bajunya. Ia keluarkan secarik kertas beramplop, lalu, “Tolong bacakan tulisan ini!”

Peristiwa ini terjadi tahun 1990-an. Kalau saja sekarang, mungkin Soleh bisa belajar bahasa Ibrani seperti saya dengan Duolingo. Atau, lebih gampang lagi, menggunakan Google Translate untuk mengetahui isi tulisan itu. Untunglah, Android pun belum lahir kala itu.

Pak David menerima amplop dari Soleh. Ia buka dan baca sejenak. Isinya ternyata sepucuk surat. Deg, begitu hati Pak David terasa membaca surat itu. Terjemahan surat itu kira-kira begini: 

Soleh yang baik. Aku tuliskan isi hatiku dalam surat ini karena aku tahu bahwa kamu tidak akan pernah bisa membacanya. Aku harus menuliskannya karena aku juga tidak bisa menyimpan saja perasaan ini dalam hatiku. Aku tidak sanggup mengingkari bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu. 

Tetapi aku sadar, sepenuh-penuhnya sadar, bahwa cintaku hanya akan menjadi angan-angan belaka. Bukan soal cinta bertepuk sebelah tangan yang aku takutkan; tetapi justru sebaliknya. Aku lebih takut jika kamu juga jatuh cinta padaku. Sebab, untuk cinta kita itu akan ada jurang yang dalam, yang memisahkan antara aku dan kamu. Kamu seorang Muslim, aku seorang Yahudi. Kamu orang Indonesia, aku orang Israel. 

Maka, cukuplah surat ini sebagai tanda bahwa aku pernah mencintaimu. Maafkan aku. Shalom.

Kurang lebih begitu terjemahannya. Saya terjemahkan dari cerita Pak David. Tetapi, percayalah terjemahan saya akurat. Saya punya pengalaman menerjemahkan banyak buku dan sekarang sedang posdoct dalam translation studies. Jangankan menerjemahkan surat yang tidak saya baca sendiri, menerjemahkan hatimu pun aku bisa. Pret.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama