Alasan Belajar Bahasa Ibrani

Pas saya datang semester lalu, ada dua alasan mengapa saya tidak ikut kursus Bahasa Ibrani di universitas. Pertama, kuliah sudah dimulai, mau nyusul khawatir nggak nutut. Kedua, saya juga ragu apakah saya perlu serius belajar Ibrani dengan datang ke kelas.

Seperti pernah diceritakan (https://www.maftuh.in/2021/10/belajar-bahasa-ibrani.html), saya sudah mulai belajar Ibrani dengan aplikasi sebelum pergi ke Israel. Belajar dengan aplikasi itu fleksibel, semau dan semampu kita. Kalau di kelas? Selain bayar, wajib meluangkan waktu dan serius.

Nah, setelah satu semester di sini, saya tahu aplikasi saja belum cukup. Tidak seperti kursus Bahasa Spanyol yang lengkap, materi Ibrani di Duolingo sangat kurang. Jadi saya harus belajar langsung di kelas. Tetapi, apa iya, orang seumur saya masih perlu memulai belajar bahasa asing seserius itu? Bayar, meluangkan waktu, pikiran dan tenaga?

Saya tidak perlu lama untuk menemukan jawabannya. Suatu hari saya diundang makan malam. Sambil menunggu yang lain datang saya iseng-iseng lihat meja buku. Di situ saya menemukan buku-buku pelajaran bahasa Arab Palestina.

Saya tanya ke tuan rumah, "Are these books Adam's?" Anak kedua bu professor, tuan rumah makan malam, masih sekolah di SMA. Sekolahnya unik karena menggunakan dwi bahasa Arab-Ibrani. Sekolah langka di Israel yang bermisi menjembatani dua bangsa yang bermusuhan itu. 

Ternyata bukan. Adam sudah tidak perlu buku itu. Buku-buku itu dipakai bu profesor untuk belajar. Ia sedang ikut kursus Bahasa Arab Palestina. Ia sudah tahu bahasa Arab fushah, tetapi masih merasa perlu belajar Bahasa Arab Palestina. 

Saya tanya untuk apa? "Tentu saja untuk berkomunikasi. Rasanya ada yang kurang dengan belajar bahasa Arab standar karena tidak bisa digunakan di lapangan," jawabnya. Di Yerusalem, bisa berbahasa Arab 'amiyah Palestina akan sangat berguna untuk mengenal orang Arab lebih dekat.    

Nah, kalau beliau saja masih mau belajar bahasa kesekian yang ia kuasai, di umur yang sudah lebih tua dari saya, mengapa saya tidak? Motifnya juga bukan materi, tetapi luhur: berkomunikasi, lebih mengenal dekat tetangga, bukan dana riset misalnya. Saya tidak perlu alasan lagi: tidak iri melihat beliau begitu? 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama