Terpingit Malam Pertama


Maksimal dua puluh empat jam sebelum keberangkatan, orang yang mau masuk Israel wajib mengisi formulir yang tersedia di laman situs Kementerian Kesehatan Israel. Informasi semacam ini termasuk informasi ‘slilit’ karena terselip di antara belasan informasi yang terus menerus dikirim dari international office universitas. Tidak jeli, ya kelewat. Padahal sanksinya cukup jelas: tidak mengisi formulir sebelum berangkat, tidak boleh naik pesawat. 

Ada beberapa penumpang di Bandara Soekarno Hatta yang kabarnya tidak tahu informasi ini dan harus dibantu petugas check-in, bikin antrean molor. Teman saya yang dari Rusia juga awalnya tidak tahu dan baru tahu ketika di tengah jalan menuju bandara. Tahu pentingnya proses ini, saya sudah mencantumkan di buku check-list keberangkatan: Ahad pagi jangan lupa isi formulir ini!

Formulir itu sebenarnya mirip-mirip formulir prokes pandemi kalau kita berkunjung ke layanan kesehatan di Indonesia. Misalnya, ada pertanyaan tentang sudah pernah terkena Covid atau belum, sudah vaksinasi atau belum, dan lain-lain. Setelah mengisi, dan berdasarkan jawaban yang diberikan, sistem akan secara otomatis memberikan rapid judgment: Anda wajib isolasi mandiri ketika tiba di Israel. Itu kesimpulan yang saya dapatkan. Bagi yang lain mungkin malah: Anda dilarang ke Israel. Beberapa negara dimasukkan dalam daftar hitam Israel. Saya memantau dari awal, dan syukurlah karena kita tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel, Indonesia tidak pernah masuk daftar hitam. Daftar hijau pun mungkin tidak masuk jika memang ada daftar semacam itu. 

Jadi, selain meskipun sudah lulus tes PCR saat berangkat dari Jogja, lulus tes PCR di Tel Aviv, saya masih harus tetap menjalani isolasi mandiri di hotel. Saya dan ratusan mahasiswa, peneliti, dan dosen, harus menjalani isolasi. Aturan terakhir sih tujuh hari. Pengecualian bisa diberikan kepada mereka yang sudah fully vaccinated. Saya sudah, cuma... Vaksin saya tidak diakui oleh Amerika, not FDA approved. Teman saya satu tim, dari Rusia, juga sudah fully vaccinated, tetapi vaksin Sputnik juga tidak diakui.

Dari beberapa alternatif, pihak manajemen proyek memilihkan kami untuk isolasi di hotel kampus. Saya tidak memperoleh informasi detail tentang proses isolasi ini akan seperti apa. Sebab mereka sendiri juga sambil terus memantau peraturan yang bisa berubah sewaktu-waktu. Terpenting, kami masuk isolasi dulu. Bahkan soal kebutuhan hidup selama isolasi akan dipenuhi dengan cara apa juga tidak ada informasi. Saya mengira, dan salah, namanya orang isolasi itu ya tinggal tidur di kamar dan semua akan tersedia. Makan tiga kali sehari dan pendukungnya pasti tersedia.

Saya salah kira. Setelah bertanya ke resepsionis, kami diberi tahu kalau hotel hanya menyediakan makan siang. Duh. Sementara untuk sarapan dan makan malam, kami harus mengurus diri sendiri. Lha, caranya bagaimana? Awalnya, saya tidak khawatir sama sekali. Di Indonesia, kita biasa kan pakai Shope atau Go-food. Di sini pasti juga bisa. Resepsionis juga memberi kami daftar toko dan restoran yang bisa kami hubungi. Sepertinya, itu akan mudah.

Ternyata tidak. Pertama, begitu waktu makan malam tiba, saya baru tahu kalau toko yang ada di daftar sebagian sudah tutup karena mereka toko kampus. Kedua, restoran luar yang terdaftar cuma ada piza dan burger. Mana bisa saya makan malam dengan dua makanan 'aneh' itu setelah seharian juga belum ketemu nasi?

Saya kontak resepsionis via telpon kamar. Orangnya sangat membantu, kami mendiskusikan alternatif restoran yang tersedia dan melayani delivery. Ia merekomendasikan salah satu restoran dan saya hanya bisa menyetujuinya. 

Dimulailah proses pemesanan yang benar-benar membuat saya dan teman saya yang dari Rusia geleng kepala sejak dua bulan lalu. Di Israel, kalau kita menggunakan kartu kredit kita harus menyerahkan nomor kartu kredit dan sekaligus 3 digit pengaman itu. Dua bulan lalu, saya menolak melakukannya ketika proses pembayaran asuransi. Lalu menyerah dan tidak ada pilihan lain. Malam ini, saya tidak akan menyerah. Saya menolak untuk memberikan nomor-nomor itu. 

Kami akhirnya ganti restoran dan menemukan restoran yang bisa melayani transaksi kartu kredit via website. Pun demikian, saya masih harus menyerahkan kartu kredit saya ke resepsionis. Sebab, websitenya full menggunakan Bahasa Ibrani. Kami coba restoran itu dengan kartu kredit saya, gagal. Lalu diganti dengan kartu kredit teman Rusia saya, gagal. Cul-de-sac. 

Saya teringat untuk lapor ke staf proyek tentang kondisi kami. Orangnya selama ini sangat membantu. Malam itu, ia menjadi solusi. Ia pesankan makanan dari rumahnya ke restoran yang tadi kami inginkan. Satu jam kemudian, sekitar jam 10 malam, saya mendapatkan WA dari kamar lain di lantai lain hotel ini. “Did you get your food?”, tanya teman Rusia saya. “No,”  jawab saya singkat. Dia kaget. Dia sudah dapat dan hanya satu kotak. “It’s a big dish. Is it supposed to be shared?” Wah, ya nggak mungkin lah. Wong keluar kamar saja nggak boleh. 

Saya langsung cek, buka pintu. Oh ternyata sudah dikirim. Rupanya saya sempat ketiduran dan tidak mendengar orang mengetuk pintu. Betul, ini makanannya banyak. Saya makan separo saja dan saya simpan sisanya untuk sarapan. 

Drama malam pertama ini tidak boleh terulang besok malam. Kami harus mencari solusi agar pingitan seminggu di hotel ini tidak berubah menjadi penjara di Israel. (14/10/21)


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama