Akibat Shabbat


Kemarin Kamis, saat pengantaran makan siang, saya dikejutkan dengan kiriman tiga box nasi. Saya tanya ke pengirim, “Why three?” Ia jelaskan bahwa itu untuk tiga hari. Tentu saya bingung. Jatah makanan tiga hari dikirim sekali, apakah makanan Israel tidak bisa basi? 

Kami punya kulkas kecil di kamar, yang tidak akan muat diisi dua box makanan. Kalau pun dimasukkan ke kulkas, saya juga tidak punya microwave untuk menghangatkan nasi-nasi itu. Jadi, makanan tiga hari dikirim sekali ini gila. 

Saya tanya ke pengantar lagi, “Why three at once?” Ia jelaskan bahwa besok Jumat dan Sabtu libur hari Shabbat. Tidak ada orang yang kerja di sini. Jadi, mereka tuntaskan kewajiban Jumat Sabtu pada hari Kamis. Untungnya, kami hanya dikirim makanan sekali sehari oleh kantin. Andai kami dijatah makan tiga kali sehari, pasti kami dapat sembilan box nasi. Lebih gila lagi!

Saya memang pernah membaca sebelum datang ke sini bahwa kalau di Israel, hari Jumat-Sabtu itu aktivitas publik relatif mati. Terlebih, di ‘kota santri’ Yerusalem. Hari Jumat pada dasarnya bukan hari libur, tetapi hari persiapan Shabbat. Seperti di Indonesia, hari Jumat adalah ‘hari pendek’. Layanan umum hanya buka setengah hari karena pelaksanaan Shabbat dimulai dari setelah zuhur. Karena waktunya pendek, banyak yang kemudian memilih meliburkan diri sekalian. 

Pagi ini, kampus saya sudah mati. Jalan raya di depan hotel yang biasanya ramai, hanya sesekali dilewati mobil. Rasanya seperti pas pagi menjelas salat Idulfitri di kampung halaman.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama