Mungkinkah Puasa 31 Hari?

Jumat: Impossible Ru'yah!

Bagi peminat Ilmu Falak, penentuan tanggal 1 Syawal tahun ini memang menarik. Teman saya, dosen Fakultas Syariah, Kiai Abdul Mughits, membuat catatan panjang yang perlu Anda baca sebelum membaca tulisan saya [1]. Ringkasnya, ia mengatakan bahwa ada perbedaan antara "Ilmu Syariah" dengan "Astronomi". Secara Syar'i, karena hari ini sudah tanggal 29, maka para Ahli Ru'yah akan melakukan pengamatan Hilal untuk memastikan apakah besok sudah 1 Syawal atau belum. Sementara secara Astronomi, mengacu ke release BMKG [2], ru'yah baru bisa dilaksanakan besok Sabtu karena ijtima' (yang menjadi salah satu syarat ru'yah) baru terjadi nanti malam (Sabtu) Pukul 00:39 WIB.

Kiai Mughits lalu mengajukan hipotesis menarik, "Kalau ru'yah besok Sabtu, seperti yang dinyatakan BMKG, berarti Ramadan sudah 30 hari. Jika Ramadan sudah 30 hari, maka kalau besok kita gagal ru'yah, Ramadan jadi 31 hari."

Mungkinkah kita gagal ru'yah? Secara teknis sangat mungkin. Sebagai negeri katulistiwa, potensi negeri kita tertutup awan dari Sabang sampai Mereauke di detik-detik ru'yah sangat tinggi. Saya pribadi mengikuti ru'yah berkali-kali dan tidak pernah sekalipun berhasil melihat Hilal meskipun ketinggiannya sudah sangat ideal di atas 7 derajat. Penyebabnya? Langit yang semula cerah, mak bedunduk, diselimuti awan pas di titik munculnya Hilal.

Jadi, mungkinkah Ramadan 31 hari?

Pengantar untuk paham

Untuk menjawab teka-teki itu kita wajib kembali ke problem pokok kalender Islam yang tak akan pernah selesai meskipun guru saya Ustad Prof. Susiknan berusaha menyelesaikannya lewat proyek penyatuan kalender. Nah, kita tahu ada dua mazhab 'ekstrem' dalam penentuan kalender Islam: Mazhab Ru'yah dan Mazhab Hisab.

Mazhab Ru'yah berasal dari praktik sederhana di zaman Nabi. Penentuan tanggal ditetapkan dengan mengamati munculnya hilal menggunakan mata telanjang. Pada zaman Nabi, praktik ru'yah ini murni dengan mengamati gejala alam, tanpa bantuan kalkulasi astronomi/Falak/Hisab. Satu-satunya syarat ru'yah adalah kita sudah puasa 29 hari. Arab Saudi konon mengikuti mazhab ini sepenuhnya.

Lalu, mazhab kedua adalah Mazhab Hisab. Bentuk paling ekstrim, dan mungkin satu-satunya di dunia, adalah Hisab Hakiki ala Muhammadiyah. Dasar penentuan kalender cuma satu: hitungan ilmu Falak dan total mengabaikan ru'yah. Kriteria lengkapnya, silakan baca di laman Muhammadiyah ini [3].

Nah, di antara kedua mazhab itu, sebenarnya ada mazhab ketiga yang mungkin jarang didengar oleh awam tetapi sangat lazim digunakan: Mazhab Imkanur Ru'yah. Mazhab ini menyatukan ru'yah dan hisab dalam membuat "kriteria awal bulan". Menurut Mazhab ini, ru'yat itu tidak bisa dilakukan jika tidak memenuhi syarat tertentu, misalnya ketinggian Hilal 2 derajat.[4] Kalau ada orang mengaku melihat hilal padahal secara hitungan hari itu masih 1 atau -1 derajat, maka kesaksiannya ditolak.

Karena tiga mazhab ini memiliki kriteria penetapan tanggal yang berbeda, maka kita tidak bisa menjawab sebuah kemusykilan yang muncul dari mazhab tertentu dengan perspektif mazhab lain. Misalnya, "Kalau hari ini mendung, besok Muhammadiyah lebaran nggak?" Pertanyaan itu tidak relevan untuk Muhammadiyah dan metode Hisab Hakiki mereka!

Menjawab Teka-teki 31 Ramadan

Maka demikianlah teka-teki 31 Ramadan itu muncul. Pertanyaan itu muncul karena Pak Mughits mengacu ke dua kriteria dari dua Mazhab berbeda. Jika ikut Mazhab Ru'yah (murni), kalkulasi ijtima hari Sabtu itu tidak relevan. Kriteria ru'yah itu cuma satu: hari ini kita sudah puasa ke-29. Ketika nabi mengatakan itu, beliau tidak melihat hitungan apakah hari ini sudah ijtima' atau belum.

Jadi, berbeda dengan Kiai Mughits, dalam pandangan saya ini bukan perbedaan Syari'ah versus Astronomi, tetapi perbedaan metode penetapan antar mazhab Falak saja. Hipotesis 31 Ramadan itu tidak perlu. Jika konsisten ru'yah, peluangnya ya puasa 29 kalau hari ini berhasil melihat, atau 30 kalau gagal.

Kalau pakai Astronomi (Imkanur'yah), besok Maghrib sudah pasti masuk tanggal, mau mendung atau tidak! Fungsi ru'yah mereka hanya untuk 'hiburan', bukan penentu tanggal, tidak perlu istikmal.

Mazhab Kemenag?

Menurut kriteria Imkanur Ru'yah yang disepakati MABIMS (Menteri Agama dari Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) tahun 1992, ru'yah bisa dilaksanakan jika memenuhi tiga syarat: (1) tinggi hilal minimum 2 derajat, (2) jarak bulan dari matahari minimum 3 derajat, dan (3) umur bulan [dihitung sejak saat ijtima’] pada saat matahari terbenam minimum 8 jam.

Karena ada kesepakatan MABIMS itu, dulu saya kira Kemenag itu bermazhab Imkanurru'yah. Jika konsisten pada mazhab ini,  maka nanti sore tidak perlu ru'yah. Sebab, ijtima'-nya saja baru akan terjadi nanti malam, maka mustahil melakukan ru'yah.

Tetapi saya baca-baca di media, Kemenag menjadwalkan ru'yah  sore ini. Lho? Koq bisa? Apakah kriteria MABIMS itu hanya untuk basa-basi dengan tetangga sebelah padahal aslinya ikut mazhab ru'yah? Entahlah.

Saya sendiri sih penganut "mazhab keempat". Maksudnya? Bagi saya, tanggal itu tidak ditentukan oleh Hisab atau Ru'yah tetapi oleh pemerintah!

Artinya, apa pun mazhab yang diikuti pemerintah sebenarnya tidak penting bagi saya. Lebih penting: dalam sebuah negara, tanggal itu harus seragam dan ditetapkan oleh pemerintah, bukan oleh ormas. Kalau kebetulan pemerintahnya menggunakan hisab, ya saya manut. Kalau menggunakan ru'yah, saya juga manut. Pokoknya, ikut pemerintah. Itu mazhab keempat!

----------
[1] https://www.facebook.com/abdul.mughits.75/posts/3713476752015796
[2] https://cdn.bmkg.go.id/web/informasi_hilal_syawal_1441h.pdf#viewer.action=download
[3] http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/1436%20H/Penjelasan%20Hasil%20Hisab%201436%20H.pdf
[4] Kriterianya lebih banyak dari sekedar tinggi, jika berminat detail, silakan baca di tulisan Pak Djamaluddin di sini: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/06/22/kriteria-imkanur-rukyat-khas-indonesia-titik-temu-penyatuan-hari-raya-dan-awal-ramadhan/

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama