Kematian Bahasa Indonesia


Bagaimana nasib Bahasa Indonesia sebagai bahasa akademik? Lihatlah publikasi jurnal-jurnal di Indonesia. Meskipun tidak ada aturan yang mewajibkan jurnal untuk menggunakan bahasa asing, tetapi secara implisit dapat dikatakan bahwa jurnal-jurnal dituntut untuk berbahasa asing ... kalau jurnal itu ingin naik peringkat ke level akreditasi teratas. 

Demikian juga kalau ingin terindeks oleh pengindeks yang disebut-sebut sebagai ‘bereputasi internasional’. Alasannya terdengar sangat masuk akal: jika ingin dibaca oleh masyarakat internasional, gunakan bahasa internasional. 

Karena tuntutan logika tersebut, sedikit demi sedikit kita akan kehabisan jurnal berkualitas dalam bahasa Indonesia. Di UIN Sunan Kalijaga, misalnya, jurnal-jurnal yang sudah terakreditasi Sinta 2 tampak langsung ‘tancap gas’ ganti bahasa, terbit sepenuhnya dalam bahasa Inggris. Target dan insentifnya jelas: terindeks dalam lembaga pengindeks internasional, lalu memetik buah reputasi, gengsi, apresiasi, dan bahkan auto-accredited dalam Sinta 1. Siapa yang tidak tergiur untuk mendapatkannya?

Dalam praktik, ada beberapa masalah sebenarnya dengan tren ini: pertama, dan terpenting, matinya Bahasa Indonesia sebagai bahasa akademik. Bahasa Indonesia menjadi bahasa "kelas tiga". Jika mengacu ke sistem akreditasi Sinta, hanya akan tersisa jurnal-jurnal terakreditasi Sinta 3 yang masih berbahasa Indonesia. 

Kedua, perubahan bahasa tidak disertai dan tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu publikasi. Kita tahu bahasa hanya alat komunikasi hasil riset. Riset yang baik akan tetap baik selama menggunakan bahasa yang baik, apa pun bahasanya. Nah, yang sering terjadi justru ketika sebuah riset yang baik dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang buruk, membuat risetnya menjadi lebih buruk. 

Kami sering menerima tulisan dalam bahasa Inggris dan tidak dapat kami pahami isinya karena ditulis dengan Bahasa Inggris yang tidak layak. Pernah ada kasus di INKLUSI, kami meminta penulis mengirim versi bahasa Indonesia karena risetnya menarik tetapi sayangnya ditulis dalam bahasa Inggris yang tidak baik.

Dua masalah itu hanya sedikit dari masalah-masalah yang harus kita hadapi dalam dilema bahasa ini. Kita mengakui bahwa kita mungkin tidak punya banyak pilihan selain mengikuti arus. Tetapi kita sadari bahwa naik peringkat ke Sinta 1 atau terindeks Scopus, sering kali tidak diikuti oleh kenaikan jumlah artikel berkualitas yang masuk ke redaksi. 

Meski mimpi kita adalah jurnal semakin dibaca luas secara internasional, tetapi kenyataannya artikel internasional yang masuk juga tidak seperti yang kita impikan. Lihatlah pengalaman jurnal-jurnal kita yang sudah terindeks Scopus. 

Perhatikan artikel-artikel yang diterbitkan. Apakah komposisi penulis lokal dan luar Indonesia menjadi berimbang, atau tetap saja didominasi tulisan lokal? Jika tidak ada perubahan komposisi, lalu di mana urgensi mengubah ke dalam publikasi berbahasa internasional? Sekedar renungan!

(ditulis untuk editorial Jurnal Inklusi, Vol. 7, No. 2, 2020)

1 Komentar

  1. Kalau bahasa Indonesia mati, Ndak lagi, paling cuman pingsan. Cuman belum tahu kapan silumannya. Hehe. Betul. Harusnya, jurnal-jurnal sinta-1 dan Sinta-2, dibuat versi bahasa Indonesia nya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama