Kemerdekaan yang Berkurang


Indonesia hari ini menambah umur kemerdekaannya. 76 tahun! Tetapi 'kemerdekaan' sendiri tidak otomatis bertambah. Pada tiap-tiap peringatan kemerdekaan, kita tahu dan bisa merasakan seberapa merdekakah kita sebagai manusia Indonesia.  Karena pada diri orang per orang Indonesia itulah tujuan kemerdekaan itu.

Pada jaman Soeharto, kita pernah merasakan bagaimana kemerdekaan itu sedemikian semu. Enak bagi dia dan orang-orangnya, tetapi pahit bagi kita sebagai manusia Indonesia. Maka kita bertekad mengakhiri kemerdekaan semu itu dengan reformasi. 'Janji reformasi' adalah negeri yang merdeka dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tetapi apakah janji itu terpenuhi?

Sebagian pernah terpenuhi. Ada masa ketika sesudah reformasi itu birokrasi kita lebih bersih, ada masa ketika kita bisa menjadi pegawai negeri tanpa khawatir dengan orang dalam dan kenal siapa, ada masanya ketika segalanya serasa lebih baik. Tetapi, sepertinya itu tidak cukup lama. Sekarang, anaknya anu bisa menjadi anu, menantunya anu bisa menjadi anu, tanpa perlu pengalaman dan kompetensi. Korupsi? ya begitulah. Berapa puluh bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, yang sudah dibui.

Lalu merdeka untuk apa?

Kalau saya mengukur diri saya sendiri. Saya koq merasa semakin tua usia saya, semakin berkurang kemerdekaan saya bahkan hanya untuk melakukan hal-hal yang harusnya 'normal' saja dalam demokrasi. Mau nulis kritik saja, ada pasal anu yang mengintai. Mau mengeluh saja, khawatir nanti berdampak ini dan itu. Semakin tua bukannya semakin merdeka, tetapi semakin dibelenggu oleh pikiran-pikiran dan keadaan.

Di mana pun tempat saya berharap orang bisa lebih merdeka, tetapi yang ditemukan adalah orang-orang yang menggandaikan kemerdekaannya. Para akademisi misalnya lebih pintar memuji-muji daripada mengkritisi. Grup-grup WA lebih terasa seperti masjid dan musala, cuma sedikit beda yang dipuja dan dipuji siapa.

Maka, saya tidak bisa teriak merdeka. Hanya bisa berbisik, "Semoga Merdeka!"


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama