Arif Maftuhin UIN Sunan Kalijaga


Saat ini, kalau Anda googling "Arif Maftuhin", Anda akan bertemu dengan hasil seperti dalam screenshot ini. Arif Maftuhin dan UIN Sunan Kalijaga memenuhi halaman demi halaman Google search. Tentu saja, mengabdi dua puluh tahun (tidak teras aya?) di UIN Sunan Kalijaga adalah waktu yang lebih dari cukup untuk melekatkan nama saya dengan kampus ini.

SWalaupun ada yang bilang saya "kurang Sapen" karena S1 saya tidak di sini, tetapi menjadi mahasiswa S2 (dua tahun) dan S3 (tujuh tahun), bukan waktu yang pendek untuk menyapenkan saya. Apalgi setelah menjadi dosen di sini. Kurang Sapen apa coba? 

Saya tidak pernah menduga, membayangkan, apalagi bercita-cita menjadi dosen di sini. Kuliah pun, dulu, tidak pernah terpikirkan untuk di sini. Saat lulus Aliyah, saya nyaris tidak kuliah karena persoalan biaya. Jadi, saya mencari kampus yang murah, biaya hidup yang bisa diakali. Ke IAIN Solo adalah pilihan karena dua alasan itu. Ya, awalnya, kuliah di situ digratiskan karena program khusus. Saya juga sudah menghubungi kenalan untuk bisa tinggal gratis di masjid.

Lulus S1, saya memilih daftar beasiswa S2 ke UIN Sunan Kalijaga adalah karena faktor lain: LKiS, pusat gagasan progresif generasi muda NU zaman itu. Gravitasi LKiS sedemikian kuat sehingga beasiswa S2 dan mendekat ke LKiS ada dalam satu paket. Saya lulus tes dan tujuan itu tercapai. Saya telah menjadi bagian dari UIN Sunan Kalijaga. tetapi menjadi dosen di sini? Nggak kepikiran dan nggak kebayang. Makanya, saya malah semapat menjadi dosen di UMY.

Saya juga pernah melamar dosen di IAIN Tulungagung. Lolos administrasi pun tidak. Mendaftar ke IAIN Salatiga, lulus administrasi pun tidak. Mendaftar ke almamater IAIN Solo? Pernah dan nyaris..., nyaris thok, lolos. Ternyata nasib menentukan lain: saya tidak boleh lulus di Tulungagung, Salatiga, dan Solo karena takdir saya di UIN Sunan Kalijaga. Nasib membuat skenario syarat administrasi dan tes yang menguntungkan saya. Harus S2, ada tes Bahasa Arab dan Inggris, dan saingan yang tidak terlalu banyak. 

Takdir. Mau apa kita?! Terbaik adalah: kita jalani saja. Hidup itu mempunyai skenarionya sendiri.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama