Getun. Getun. Getun


Saya sedang 'getun'. Tetapi saya juga tidak tahu harus bercerita dan dengan cara apa saya bercerita. Tetapi saya sungguh 'getun'.

Semalam, saya nyetir sendirian dari Blitar ke Jogja. Di tengah kegelapan jam 1 malam, saya menemukan kecelakaan di sebuah jalan di Klaten dari arah Wonogiri. Saya segera menghentikan mobil. Tampak di keremangan itu seorang perempuan dan anak seumuran 4-5 tahun tergelatak di jalan, di belakang sebuah truck.

Tiga laki-laki tampak mengambil peran masing-masing untuk menangani situasi. Si laki-laki pertama segera mengambil si bocah. Ia terdengar terus berteriak-teriak memanggil nama anak itu. Dua orang lainnya, tampak berusaha menolong si perempuan.

Dua korban itu tidak bersuara sama sekali, entah pingsan atau kondisi yang lebih parah.

Dalam keadaan demikian, saya hanya punya satu pikiran: menawarkan diri untuk mengangkut para korban ke rumah sakit terdekat dengan mobil saya. Pintu saya buka dan dua orang pria itu dengan cepat mengangkat si ibu ke dalam mobil. Pria pertama dan si balita juga menyusul naik.

Karena tidak tahu daerah itu, saya hanya meminta si bapak yang ikut mobil saya untuk mengarahkan ke mana saya nyetir. Di luar mobil, pria yang membantu mereka bilang ke saya, "Cepat pak, nanti saya susul."

Kepanikan menghantui perjalanan 5 menit kami ke puskesmas terdekat. Saya hanya bisa konsentrasi di jalan yang berlobang di sana sini. Di belakang, si bapak menangis kencang sambil berusaha membangunkan si anak. Si ibu yang baru sadar dari pingsan, seperti lupa dengan keadaannya sendiri yang tidak lebih baik (kepala berlumur darah), ikut menangis meratapi anak mereka, "Ya Allah gusti, iki mau piye, anakku ngopo. Ya Allah lindungi Gisel! Ya Allah).

Saya baru mulai memahami sedikit siapa mereka dalam perjalanan penuh kepanikan itu. Yang saya angkut adalah sebuah keluarga kecil: bapak, ibu, dan seorang anak. Mereka sepertinya pulang dari kerja dengan dua motor. Si bapak, naik motor dengan membawa keranjang penuh alat masak dan sisa/bahan jualan. Si ibu dan si balita naik motor lainnya.

Dalam rekostruksi perkiraan saya: mereka berkendaraan berbuntutan. Si ibu di motor depan dan si bapak di motor belakang. Entah bagaimana peristiwanya, si ibu yang di depan, menabrak truk yang sedang parkir di kiri jalan (catat: masih di badan jalan).

Sesampai di puskesmas terdekat, saya baru terpikirkan untuk mencari dua orang tadi, yang baru saya pastikan lewat si bapak bahwa mereka adalah sopir dan knek truk. Saya koq punya pikiran yang tidak-tidak: jangan-jangan mereka malah lari.

Sampai di TKP, saya hanya menemukan truk lain yang berhenti karena mereka penasaran ada dua motor di tengah jalan tanpa ada manusia di sekitarnya. Truk yang tadi ditabrak motor sudah tidak di lokasi. Awalnya, saya masih berprasangka baik mereka menyusul kami ke puskesmas, seperti yang dijanjikan.

Tetapi ketika saya balik lagi ke puskesmas untuk pamit melanjutkan perjalanan, mereka tidak di sana juga. Pergi entah ke mana.

*

Di sepanjang perjalanan, hati saya galau. Getun. Mengapa tidak sedetik pun terpikir untuk mendokumentasikan kecelakaan itu? mengapa tidak saya foto plat nomor truk itu? Mengapa saya percaya bahwa dua orang yang membawa truk itu akan menyusul kami ke rumah sakit. Saya getun tak ada habisnya.

Maka, lewat tulisan ini, saya berharap dua orang itu juga getun. Anda pikir, Anda tidak bersalah karena truk Anda yang ditabrak? Ingat pak, truk itu berhenti di jalan. Tanpa lampu, segitiga hazard, atau penanda lain. Anda ceroboh dan kecerobohan itu mencelakai orang lain. Getun lah pak!

*

Saat nyetir pulang semalam, saya lalu awas terhadap kiri kanan jalan. Ternyata, ada banyak truk parkir dalam situasi yang sama dengan truk yang ditabrak tadi. Berhenti di pinggir, kadang dengan sebleah roda masih di jalan raya, tanpa tanda apa pun. Kalau Anda sopir, besok lagi parkirlah dengan baik. Bukan tidak mungkin, kerabat Anda sendiri yang akan jadi korban!

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama