Syariah dan Fiqih

[Kuliah #02]

Kalau dalam tulisan sebelumnya kita harus membedakan kapan syari'ah berarti 'hukum Islam' dan kapan berarti 'agama', dalam praktik sehari-hari kita juga akan menjumpai perbedaan antara kapan 'syariah' itu berarti hukum Islam 'tertentu' dan bukan hukum Islam 'yang itu'. Ah, apalagi ini?

Begini, Anda perlu tahu bahwa meskipun 'syariah' kadang berarti 'hukum Islam', istilah 'hukum Islam sendiri' bukan istilah yang lazim digunakan para ahli hukum Islam. Bingung? Jangan khawatir, saya hanya ingin mengatakan bahwa istilah 'hukum Islam' itu istilah dalam bahasa Indonesia, dan tidak pernah digunakan oleh para ahli hukum Islam di Arab 😅 Percayalah dengan saya, Imam Syafi' pasti tidak tahu istilah 'hukum Islam'.

Jadi, apa istilah yang digunakan? Fiqh! atau Fikih dalam transliterasi Indonesia. Fikih ini nama mata kuliah yang saya ajarkan. Saya tidak pernah mengajar 'hukum Islam'. SK saya adalah pengajar mata kulih Fikih dan Usul Fikih. Dalam literatur, Anda akan menjumpai Fiqih didefinisikan sebagai:

Ilmu tentang (1) hukum-hukum Syariah yang (2) terkait perbuatan [manusia], yang (3) bersumber dari dalil-dalil khusus. (Abu Zahrah, 1958)

Anda perhatikan definisi menarik ini. Fikih itu sesungguhnya 'ilmu', atau pengetahuan saja. Pengetahuan tentang apa? Tentang 'al-ahkam al-syari'yyah' yang kalau diterjemahkan menjadi "hukum-hukum syari'ah

Saya harus mempertahankan sementara istilah syari'ah karena menurut ahli Fikih, syari'ah itu adalah apa-apa yang ditetapkan oleh syari' Sedangkan yang dimaksud syari' hanya ada satu oknum: Allah! jadi, kalau istilah al-ahkam al-syar'iyyah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya bisa: "hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah."

Nah, perhatikan definisi itu, lalu renungkan, "apakah semua hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah?" Jika MUI menerbitkan fatwa "mengambil bunga bank hukumnya haram", apakah itu "hukum Allah?" 

Jawabnya bisa ya dan bisa tidak, tergantung cara kita mengoperasikan definisi Fikih dalam praktik. Jelas bahwa Allah, di dalam Alquran, tidak mengharamkan [konsumsi] bunga bank, melainkan riba. Hanya saja, dengan metode yang ditetapkan Fikih, para ulama MUI menyimpulkan bahwa bunga bank sama dengan riba. Karena mengambil itu, mengambil bunga bank sama haramnya dengan mengambil riba

Artinya? keharaman bunga bank bukan hukum Syariah, tetapi hanya "berdasarkan kepada hukum Syariah menurut MUI." Karena bukan hukum Syari'ah maka, ulama lain terbuka untuk berbeda pendapat Ulama lain boleh menyatakan halal jika ia menganggap dalil keharaman riba tidak berlaku untuk bunga bank. Ulama yang demikian tidak boleh divonis menentang syari'at.

Perbedaan pendapat seperti inilah yang terjadi dalam wilayah Fikih. Selama ulama memiliki dalil, mereka bisa berbeda pendapat karena Fikih hanyalah "ilmu tentang hukum Syari'at", bukan syari'at itu sendiri. 

Kita simpulkan sekali lagi: syari'ah itu bukan Fikih,  juga bukan "hukum Islam." Di Indonesia, kita menggunakan 'hukum Islam' dengan makna yang lebih luas, mencakup Syariah dan Fiqih, Kita biasanya menggunakan istilah "hukum Islam" untuk ketentuan hukum apa saja yang ada di dalam agama Islam, tertulis dalam teks inti Islam maupun dalam literatur Fikih. 

Maka, tidak jarang kita dengar orang bilang, "Menurut hukum Islam, bunga bank itu haram." Padahal yang ia maksud, menurut MUI. Atau, "nikah sirri itu sah menurut hukum agama, tidak sah menurut negara." Padahal yang ia maksud, "nikah sirri itu sah menurut kitab Fikih klasik, tidak sah menurut Fikih Indonesia dalam buku KHI (Kompilasi Hukum Islam)."

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama