Pura-Pura Ukhuwah NU-Muhammadiyah

PWNU tahun 1980-an.sumber foto: belum terlacak.

Sebenarnya, ada nggak sih ukhuwah NU-Muhammadiyah itu? Ukhuwah itu kenyataan atau cita-cita? Pengalaman atau norma saja? Kalau ketua Pemuda Muhammadiyah dan Ansor pamer foto mesra, apakah tiba-tiba ada ukhuwah karena foto mereka? Kalau ada film dibuat bersama oleh elit NU dan Muhammadiyah, apakah itu tanda ukhuwah atau justru sebaliknya: tidak ada ukhuwah, dibuatlah film untuk menjalin ukhuwah?

Daripada percaya jargon “kita ini saudara tunggal seperguruan, pendiri kita adalah murid dari kiai yang sama,” mbok sudah jujur saja: tidak ada ukhuwah antara NU dan Muhammadiyah. Mereka bukan saudara. Orang seperguruan juga bukan jaminan untuk hidup sejalan. Saya akan mengajukan tiga bukti untuk menghentikan kepura-puraan ukhuwah ini.

Pertama: mereka lahir sebagai ‘musuh’, bukan saudara.

Muhammadiyah dilahirkan untuk mengoreksi tradisi, membuang apa yang menurut mereka sebagai penyakit umat. Istilah yang biasa dipakai adalah TBC (takhayyul, bid’ah, dan churafat). Sebaliknya, NU lahir untuk mempertahankan tradisi. Meski saat ini sudah banyak mengadopsi pemikiran progresif, orang NU percaya dan hingga kini membela argumen bahwa bermazhab, salah satu ciri Islam tradisi, adalah wajib. Tidak bermazhab itu mustahil. Dua pandangan tentang bagaimana berislam ini secara teori bertolak belakang, bermusuhan. Itu fitrah mereka.

Kedua:  laten curiga dan insecurity

Kasus kritik saya terhadap GP Ansor memunculkan kecurigaan laten ini. Orang Ansor yang tidak bisa membantah substansi kritik saya, merespon dengan mendeligitimasi ke-NU-an saya. Saya tidak cukup NU, saya tidak punya hak menentukan siapa yang boleh ‘dibanserkan’ dan sebagainya. Hatta, ini yang saya sebut laten curiga Muhammadiyah, menyebut saya sebagai orang Muhammadiyah. Dasarnya? Karena saya pernah menjadi dosen di UMY. Anda tahu yang bilang begitu? Kalau cuma anak Ansor ranting yang baru ikut PKD nggak apa-apa, orang yang mengkritik ini selain mengaku lebih NU dari saya, adalah orang terdidik dan punya jabatan publik. Kalau kritik saja harus dibantah dengan argumen naif kemuhammadiyahan saya, jangan bicara soal ukhuwah deh. Norak.

Laten ini tidak hanya di NU. Dalam tulisan saya tentang kasus Kauman, laten curiga dan insecurity ini juga menjangkiti elit Muhammadiyah. Alih-alih mengkritik surat penolakan Pemuda Muhammadiyah, seorang tokoh membenarkan dengan menyebut kasus-kasus lain yang NU sebagai mayoritas tidak tenggang rasa dengan Muhammadiyah. Di kegiatan kemahasiswaan UIN, misalnya, dinyanyikan Ya Lal Wathon (terlalu memang). Saat saya kirimkan komentar si tokoh ke teman saya yang kenal dekat, teman saya kaget karena sejauh yang ia tahu, si tokoh ini adalah tokoh Muhammadiyah moderat, yang menurut ekspektasinya, dapat bersuara yang merukunkan, tidak malah mengompori. Ah, kenyataannya, kebanyakan juga tetap menyalahkan NU.  Di IBtimes.id, penulis yang minta maaf pun masih disertai dengan bela diri bahwa yang salah paham tetap NU.

Ketiga: absennya musuh bersama

Orang bisa rukun dan bersatu kalau punya musuh bersama. Jangankan yang ngaku saudara seperguruan, yang aslinya bermusuhan pun akan bergandeng tangan. Common enemy bisa menjadi common ground for action.

Pernahkah NU dan Muhammadiyah merasa punya musuh bersama? Sebenarnya pernah, tetapi sebatas elitnya. Pada saat pembubaran HTI, sempat ada halaqah kebangsaan yang diselenggarakan oleh NU dan Muhammadiyah dan keduanya sepakat bahwa HTI perlu dibubarkan. Tetapi, perlu kita catat, bahasa penolakan mereka sebenarnya berbeda, yang satu bersayap, yang lainnya tegas. Dan lebih penting lagi, belum merembes ke bawah, berhenti di elit.

Di bawah, ada beda agak mencolok antara keduanya. Contohnya ya kasus Kauman. Saat Muslim United (Anda tahu lah siapa mereka ini) akan menggelar acara di Masjid Kauman, akar rumput Muhammadiyah adem ayem saja. Bahkan ketika acara itu terusir dari Masjid Kauman, Anda juga tahu siapa yang kemudian menampungnya.

Fastabiqul Khairat

NU dan Muhammadiyah tidak perlu pura-pura ukhuwah untuk dapat hidup berdampingan secara damai. Contohlah Arsenal dan Chelsea. Mana ada mereka bikin film bareng dan pura-pura menjalin ukhuwah. Semua tetap dengan identitas dan tujuannya, termasuk identitas rivalitas. Mereka membangun timnya masing-masing, mempelajari kelemahan lawannya masing-masing, saling ‘bunuh’ di laga derby, demi merebut trofi paling bergengsi.

Dalam jargon Muhammadiyah ya fastabiqul-khairat itu.

Tetapi para pemainnya tidak perlu membawa rivalitas ke level personal. Kiper dan penjaga gawang Chelsea yang sudah tidak terpakai, boleh saja hijrah ke Arsenal. Atau sebaliknya, striker Arsenal yang sudah tidak berguna, pindah ke Chelsea. Orang NU boleh saja bekerja di Muhammadiyah atau sebaliknya. Orang NU juga bisa menikahi orang Muhammadiyah dan sebaliknya, tidak usah menunggu terwujudnya ukhuwah NU dan Muhammadiyah.

Daripada pura-pura ukhuwah, mending dibangun saja rivalitas yang sehat. Cukuplah bersatu ketika musuh bersama datang. Kita sepakat Premiere League adalah rumah bersama kita, tempat kita bersaing untuk menjadi yang terbaik. Kalau ada klub yang ingin mengganti Liga Inggris dengan Liga Shopee, nah kita hajar bersama. Gitu saja!

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama