Surat Kepada Pak Ganjar

Salam hormat Pak Ganjar.

Sebelumnya mohon maaf jika saya bukan orang yang tepat untuk menyampaikan keprihatinan ini kepada Bapak. Saya warga Jogja, tetapi sehari-hari saya diberi amanah untuk untuk melayani hak-hak pendidikan inklusif para mahasiswa difabel di UIN Sunan Kalijaga. Meski demikian, lebih dari sepuluh tahun saya dan teman-teman di Pusat Layanan Difabel mendengar, menemani, dan membantu tidak hanya mahasiswanya, tetapi juga para calon mahasiswa di sekolah-sekolah menengah, di SLB atau di MA/SMA/SMK inklusif.

Baru kira-kira sebulan atau dua bulan yang lalu, saya bertemu dengan para wali murid SLB di Kota Yogyakarta dan Gunung Kidul di forum sosialisasi kampus inklusif. Tidak di kota, tidak di gunung, tidak hanya sekarang, tetapi juga dulu-dulu, forum seminar atau sosialisasi itu sering menjadi forum curhat para wali murid.

Kalau tidak dibatasi waktu oleh moderator, satu orang bisa bicara 15-30 menit. Bukan untuk bertanya kepada saya sebagai narasumber. Tetapi lebih banyak digunakan untuk mengisahkan perjuangan mereka. Tak jarang kalimat harus terputus, ucapan harus terhenti, mic dijauhkan dari bibir, untuk menangis atau sekedar mengusap air mata, “Anak saya besok bagaimana?”

Beberapa wali lalu melanjutkan begini, “Untunglah Pak Arif membawa kabar baik tentang kampus UIN yang mau menerima mahasiswa difabel. Kami pikir, SLB adalah terminal terakhir. Mana ada kampus menerima difabel wong di sekolah menengah saja banyak SMA tidak mau menerima anak kami.”

Saya belum punya hasil risetnya Pak, tetapi menurut yang saya dengar dari para wali difabel maupun guru SLB sendiri, pendidikan di SLB itu ala kadarnya. Jauh dari standar pendidikan SMA atau SMP setingkatnya.

Seorang wali bercerita, “Dulu, waktu SMP, anak saya suka matematika. Begitu masuk SMA LB, tiap hari hanya diajari bikin roti.” Anak yang diceritakan ini Tuli. Dia tidak punya masalah dengan kecerdasan. Masalah anak Tuli ada pada komunikasi. Tetapi sekolah luar biasa memperlakukan mereka sebagai manusia yang potensinya sebatas ‘tukang’.

Wali murid yang lain cerita. “Gurunya bilang ke saya. Untuk apa belajar matematika dan ilmu pengetahuan banyak-banyak, anakmu kan ora arep dadi dokter to Pak?”

Kasus Purworejo: Difabel Sumber Masalah, Difabel Sebagai Solusi

Begitulah keprihatinan kita terhadap pendidikan di SLB Pak. Saya tidak mengatakan SLB itu tidak cocok untuk semua difabel. Beberapa jenis disabilitas mungkin memerlukannya. Tetapi pendidikan integratif, terlebih lagi inklusif, tetap lebih baik dari SLB.

Maka dalam konteks inilah saya kaget mendengar kabar bahwa Bapak ‘merayu’ siswi korban perundungan itu untuk pindah ke SLB. Maaf. Respon saya keras Pak. Memindah difabel korban perundungan ke SLB itu saya analogikan dengan menyuruh korban perkosaan untuk memakai hijab dan cadar. Sudah diperkosa, jadi korban, lalu secara disalahkan: salahmu buka aurat!

Sudah jadi korban perundungan, sakit lahir batin, lalu Bapak seolah-olah mengatakan, “Salahmu sekolah di sini. Tempat kamu itu harusnya di SLB!”

Di kalangan pegiat difabel, cara pandang Bapak itu cara pandang medis: difabel sebagai sumber masalah; pada difabel juga dilakukan tindakan dan solusi. Salahnya si tunanetra adalah tidak bisa melihat, kalau di kelas umum merepotkan gurunya; maka solusinya si tunanetra dipindah ke kelas yang isinya sama-sama tunanetra, agar gurunya lebih mudah. Alih-alih mengubah cara mengajar di kelas yang ada tunanetranya, si tunanetra yang disingkirkan.

Dengan cara pandang medis itu, Bapak mungkin lupa bahwa kebrutalan tiga pelaku itu bisa saja memakan korban lain. Saya dengar mereka dikeluarkan dari sekolah sebelumnya karena memang mereka bermasalah. Artinya, jelas sekali: tiga pelaku itu adalah masalah, tetapi tetap saja si difabel yang disalahkan.

Solusi: Pindahkan Siswi itu Ke SMP Negeri!

Jika Bapak menganggap SMP Muhammadiyah tidak bisa mengurusi difabel, maka pindahkanlah anak itu ke tempat yang lebih baik. Jika orang sering bicara soal kehadiran negara bagi rakyatnya yang marjinal, di sekolah negerilah harusnya anak-anak difabel ini dididik.

Saya tahu Pak, SLB itu negeri dan di bawah pemprov, tetapi saya tidak perlu mengulangi apa yang saya ceritakan di awal soal kualitas pendidikan di SLB.

Anak itu harus dipindah ke SMP Negeri. Kalau SMP Negeri tidak siap menerima difabel, ya keterlaluan. Malulah mereka dengan SMP Muhammadiyah. Nila setitik yang diakibatkan ulah tiga siswa pindahan itu tidak boleh menutup kemuliaan SMP Muhammadiyah yang mau mengasuh siswa difabel. Tangan Muhammadiyah hadir di saat negara tidak hadir. Sekarang, saatnya negara, melalui SMP Negeri, mengambil alih tugas yang diabaikannya itu.

Soal SMP Negeri di Butuh yang mungkin belum inklusif, maka tugas semua pihak untuk membuatnya menjadi inklusif. Inklusif itu harus menjadi ruh pendidikan di mana pun, apalagi di sekolah negeri.

Atau, jika lokasi SMP Muhammadiyah itu lebih dekat dan nyaman bagi si anak, bantu SMP Muhammadiyah itu untuk menjadi lebih baik, mampu secara dana dan sumber daya, untuk menjadi inklusif.

Demikian ya Pak. Semoga bermanfaat. Saya percaya Pak Ganjar lebih dari bisa untuk memberi solusi yang terbaik dalam kasus ini.

Salam kenal dari Jogja.

Arif Maftuhin
Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga.

1 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama