Islam yang merangkul

Credit: Facebook Caca
Alkisah, sekitar sepuluh tahun yang lalu, seorang calon mahasiswa Kristen tidak diterima di perguruan tinggi yang ia inginkan karena disabilitasnya. Di prodi yang ia ingin ambil, disabilitasnya itu dianggap sebagai penghalang yang memustahilkan ia dari masa depan profesional yang dirumuskan oleh ortodoksi disiplin ilmunya.

Ketika ia menceritakan masalahnya kepada kami, tanpa berpikir dua kali kami tawari dia untuk kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Awalnya ia ragu, selain karena tidak ada prodi seni yang ia inginkan, UIN adalah universitas Islam. Bagaimana ia nanti belajar Islam di UIN?

Singkat cerita, kami yakinkan padanya bahwa UIN itu bukan sekolah pemurtadan. Tidak ada ceritanya, UIN mengirimkan dosen dan mahasiswanya untuk menyulap sebuah masyarakat dari Kristen ke Islam. Plus, kami sendiri yang akan menggaransi bahwa ia akan tetap bebas memeluk agamanya selama di UIN, membebaskan dia dari kewajiban-kewajiban untuk mahasiswa Muslim (seperti wajib bisa baca tulis Alquran), dan hal-hal lain yang terkait agamanya. Bil khusus, aturan tentang jilbab.

Akhirnya, pada 2011 ia terima saran kami dan mulai kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Kebijakan UIN saat itu adalah: menerima semua pendaftar difabel, tanpa syarat. Sebagai difabel dan Kristiani, ia tentu tidak perlu ambil tes yang ‘arab-arab’ atau ‘islam-islam’ seperti umumnya mahasiswa. Ia kami tes secukupnya untuk mengetahui potensi dasar akademiknya untuk kuliah.

Caca, nama anak itu, akhirnya kami terima sebagai mahasiswa di Prodi Sosiologi. Caca tidak hanya menjadi mahasiswa Tuli pertama di UIN Sunan Kalijaga, sejauh yang saya tahu, ia juga mahasiswa Kristen pertama. ‘Operasi’ penerimaan Caca di UIN dan selama proses kuliahnya dapat disebut ‘operasi senyap’, sejauh mungkin tidak diekspos ke media.

Sebagai kepala PLD, saya sering menerima permohonan ijin dari media untuk mempublikasikan kisah Caca. Tetapi sejauh saya bisa melakukannya, saya sembunyikan Caca dari media. Kekhawatiran kami bukan karena Caca itu Kristen, tetapi karena ia seorang transgender. Anda tahu risikonya kalau ada mahasiswi transgender di UIN? Kami tidak khawatir soal UIN-nya, kita sih sudah biasa dituduh kafir, Ingkar Allah Ingkar Nabi. Tetapi yang kami lebih ingin lindungi adalah kepentingan dan kelanjutan pendidikan Caca.

Tidak mudah bagi Tuli untuk bisa kuliah. Juga, tidak mudah bagi seorang Kristen untuk kuliah di UIN. Alhamdulillah, sebagai tuli pertama yang kuliah S1 di UIN, dan mungkin hanya segelintir dari tuli yang sudah S1 di Indonesia, Caca lulus pada tahun 2018.

Kasus Caca, bagi saya, adalah contoh epik dari bagaimana kita memilih jenis Islam kita. Kristen, Tuli, Transgender, ditolak di sana sini, tetapi kita rangkul, kita lindungi, kita layani agar ia mencapai potensi penuhnya sebagai manusia. Kabar baiknya, bukan hanya PLD yang melakukannya; semua orang yang terlibat dalam proses ini, khususnya teman-teman Prodi Sosiologi yang mendidiknya 14 semester penuh, sangat membantu Caca.

Islam seperti ini yang kami pilih. Mau pilih yang lain? Terserah Lodeh!

Note: Kisah tentang Caca juga dimuat di buku Melawan Mustahil, cek di sini.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama