Mengubah Umat

Langgar Dekat Rumah, tempat umat mengekspresikan cintanya

Beragama itu pada akhirnya memang hanya soal pribadi, diimani sebagai urusan pribadi, diamalkan sebagai urusan pribadi. Kalau pun mau memperluas sebagai wilayah 'umum', maka siap-siap saja gelo. Saya tidak bicara soal yang canggih-cvanggih seperti negara Islam atau khilafah lho ya. Kejauhan. Saya sedang bicara soal sepele saja, mengamalkan agama dalam kehidupan sehari-hari dan bertetangga. Wilayah 'umum' yang saya maksud, baru sebatas 'umum' beragama dalam konteks komunal yang paling kecil, di lingkungan kita sehari-hari.

Dulu, saat pertama kali saya merantau dan tinggal di luar lingkungan beragama, saya sering ngeluh bagaimana orang yang dianggap tokoh agama di tempat baru saya itu sebenarnya tidak 'cukup kapasitas' untuk disebut tokoh. Terutama ketika kita tahu bagaimana ia menjadi imam salat dan  bacaannya tidak beres. 

Semakin sering saya pindah tempat, semakin sering saya tahu bahwa kasus imam yang tidak layak itu bukan pengecualian. Justru akhirnya saya sadar, 'standar' yang saya peganglah sesungguhnya yang pengecualian. Saya pikir, standar saya itu dulu wajar karena di kampung halaman saya di Blitar, yang namanya kyai langgar itu ya pasti pinter ngaji, minimal pantes lah didengarkan. Jadi, saya punya ekspektasi, ya begitu itu seharusnya imam yang minimal.

Tetapi bukan hanya perantauan saya yang kemudian mengubah standar saya sebagai pengecualian. Ketika saya pulang kampung, apa yang saya temui di langgar atau masjid di kampung saya sekarang ternyata sudah tidak sesuai standar yang dulu dimiliki para kyai kampung dulu. Ngajinya, duh! Bikin gimana gitu.

Dengan mengubah standar itu sekarang saya merasa bisa beragama lebih baik. Maksud saya, saya sudah gampang menerima kalau ada imam yang bacaan Qur'annya asal bunyi, atau kalau ada orang yang 'kefasihannya' melebihi orang Arab. Atau kalau ada imam tahlil yang salah ucap karena imamnya hanya menghafal dari mendengar, tidak dari membaca teks. Dulu telinga saya gatel kalau dengar begituan, tetapi sekarang sudah terasa sejuk sekali.

Saya pikir, sekarang, apalah artinya tidak fasih membaca Qur'an wong fasih atau tidak, salah atau tidak bacaan tajwidnya, para imam itu juga tidak paham artinya. Mending kita sendiri yang berubah, menerima agama sebagai ekpresi cinta kepada Tuhan saja, bukan sebagai ekspresi literasi. Umat yang literated  itu tidak 'normal', yang 'normal' itu ya apa yang paling banyak dimampui oleh umat di kiri kananmu. Selama mereka masih bisa mengekspresikan cintanya, agamanya, dengan cara yang mereka mampu, biarin saja. Jadi, ubahlah umat dengan mengubah standarmu. Beres.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama