Mengenal Xinjiang, Mengenal Uighur

Salah satu buku terpenting, penulis terkemuka, dalam Xinjiang Studies
Ketika berita-berita tentang situasi Xinjiang mulai saya dengar dan saya baca, sebagaimana semua orang, respon pertama saya adalah campur: antara prihatin, marah, dan kecewa di satu sisi, dan penasaran tentang nama suku yang baru pertama kali saya dengar: Uighur. Dibandingkan mereka yang langsung sharing berita-berita pelanggaran HAM, saya lebih memilih menahan diri tidak membagikan karena saya juga mendengar informasi dari sumber-sumber dekat tentang sifat tendensius berita-berita yang mayoritas bersumber dari media Barat itu.

Kita sudah punya banyak pengalaman bagaimana framing media itu kadang lebih berbahaya daripada fakta yang terjadi. Sebagai orang yang pernah menjadi siswa di program international studies, saya juga waspada benar konteks berita itu dari relasi Amerika-RRC yang memanas akhir-akhir ini. Maka saya putuskan untuk melakukan riset literatur yang lebih mendalam tentang Xinjiang agar saya bisa lebih jernih melihat nasib etnis Uighur.

Dalam riset itu, saya singkirkan semua informasi dari media massa. Sebagai akademisi, saya pilih untuk membaca sumber yang lebih bisa dipertanggungjawabkan: buku dan jurnal. Mayoritas buku yang saya baca adalah hasil riset penulisnya atau buah dari interaksi dengan Xinjiang selama bertahun-tahun.

Saya akan menyajikan hasil riset itu dalam format tanya jawab. Ada dua alasan mengapa demikian. Pertama, untuk memudahkan kita memahami berbagai dimensi masalah Xinjiang yang kompleks secara lebih sederhana. Dan kedua, memudahkan saya sendiri dalam menyajikan karena metode inilah yang juga saya gunakan dalam riset.

Apa itu Xinjiang? 

Nama resminya adalah Xinjiang Uyghur Autonomous Region (XUAR), sebuah kawasan di jantung Asia Tengah. Ibu kota 'provinsi' Xinjiang adalah Urumqi, yang berjarak sekitar 3000 KM atau setara Banda Aceh Surabaya jika ditempuh lewat jalur darat. Kota penting etnis Uighur, Kashgar berjarak sekitar 4000 KM dari Beijing atau setara Banda Aceh-Mataram (NTB).

Dengan topografi gunung, lembah, dan padang pasir, jarak jauh itu diperumit dengan jalan yang tidak mudah. Secara geografis, oleh sebab itu, Xinjiang lebih dekat dengan negara-negara Asia Tengah. Xinjiang menjadi garis batas barat RRC dengan Mongolia dan Rusia (Utara), Kazakhstan, Kirgistan, dan Tajikistan (Barat), Pakistan, India, dan Tibet (selatan).

Ditambah dengan bahasa Uighur yang masih serumpun dengan bahasa Turki (Turkic sebagai 'rumpun bahasa', bukan negara Turki) yang menjadi bahasa ibu orang Asia Tengah, tidak heran jika Xinjiang itu tidak 'berasa' China.

Tetapi mengapa juga Xinjiang itu China? 

Dari segi nama, tentu mudah sekali untuk menyimpulkan bahwa Xinjiang itu China, karena nama Xin Jiang (new frontier) memang nama pemberian China. Tetapi kawasan itu memiliki banyak sebutan. Sebagian sumber menyebut kawasan ini Syarqi Turkestan (Turki Timur), karena memang bahasa di kawasan ini adalah bahasa Turki. Kaum separatis Uighur yang sering demo di Eropa dan Amerika, saya lihat menggunakan nama ini untuk negara merdeka yang mereka impikan: East Turkestan. 

Sebagian sumber menyebut kawasan barat daya sebagai Kashgaria, sementara yang timur disebut Uighurstan. Pada akhir abad kesembilan belas, nama-nama seperti Tartari, High Tartary, atau Chinese Turkistan juga sering dipakai. Sementara di China sendiri, kawasan ini pernah disebut sebagai Hsi Yu (Wilayah Barat). Sementara orang Rusia pernah menyebut kawasan ini sebagai Little Bukhara karena miripnya tradisi dan bahasa tempat ini dengan wilayah Soviet di Asia Tengah. Orang setempat menyebut kawasan itu sebagai "Alta Shahar" (Enam Kota).

Salah satu buku yang saya baca, menyebut kisah Xinjiang ini dengan "Its story is a history of conquest and settlement." Karena posisi geografisnya yang di tengah-tengah berbagai pusat kekuasaan imperial dunia, Xinjiang hidup dalam penaklukan dan penaklukan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lain.
At various other times in history this region has been ruled by the Tocharians, Yuezhi, Xiongnu Empire, Xianbei State, Kushan Empire, Rouran Khaganate, Han Empire, Former Liang, Former Qin, Later Liang, Western Liang, Tang Dynasty, Tibetan Empire, Uyghur Khaganate, Kara-Khitan Khanate, Mongol Empire, Yuan Dynasty, Chagatai Khanate, Moghulistan, Northern Yuan, Yarkent Khanate, Dzungar Khanate, Qing Dynasty and the Republic of China 
Ada setidaknya dua alasan mengapa Xinjiang akhirnya menjadi China: Pertama, secara historis, kebetulan, penakluk terakhirnya adalah China yang menguasai Xinjiang hingga dan pada masa kebangkitan nasionalisme pada awal abad keduapuluh, masa yang menjadi 'masterplan' tata dunia kita saat ini. Kedua, pada awal periode komunis, sejumlah pemimpin Uighur memilih 'menyerahkan' kedaulatan Uighur kepada China.

Lalu siapa etnis Uighur itu? 

Dalam buku-buku antropologi, kita membaca bahwa etnisitas terkadang tidak dibentuk oleh faktor genetika, tetapi lebih oleh faktor-faktor lain, khususnya (tetapi bukan satu-satunya) bahasa. Demikian juga dengan siapa yang disebut sebagai orang Uighur.

Menurut salah satu versi, nama etnis Uighur secara resmi pertama kali digunakan oleh Gubernur Xinjiang pada tahun 1930an untuk menyebut semua orang yang beragama Islam dan mungkin disatukan oleh bahasa Turkic di provinsi itu. Orang-orang itu sendiri awalnya menolak disebut Uighur dan lebih memilih disebut sebagai orang Turki (sekali lagi, jangan disamakan dengan Turki yang kini dipimpin Erdogan).

Menurut versi lain, nama Uighur sudah lebih lama digunakan dalam sumber-sumber literatur Islam yang menyebut kawasan itu sebagai Uighuristan. Hanya saja ini hanya berlaku untuk sebagian dari kawasan Xinjiang sekarang, khususnya di wilayah Barat Daya.

Ke-uighur-an itu kini didefinisikan oleh banyak hal diluar 'ras'.
‘Uyghurs’ aren’t a group of people whose fortunes and movements can be tracked through time: to think so is to confuse race and ethnicity. What defines Uyghurs (and any other ethnic group) is a sense of communal identity based around religious beliefs, social traditions, a shared language and culture, and some degree of physical resemblance. 
Orang Uighur sendiri memiliki beragam pandangan tentang identitas ke-uighur-an mereka. Salah satu referensi yang saya baca merangkumnya sebagai berikut:
Uyghur peasants tend to consider themselves Muslims before any other cultural categories. Intellectuals view their association with Turkic culture as the most significant part of their identity whereas Uyghur merchants tend to accept being Chinese as the most salient aspect of their identity 
Pernyataan ini mungkin sudah kurang relevan untuk kondisi 2019, tetapi setidaknya kita tahu bahwa seberubah apa pun, rasa identitas orang Uighur satu dengan yang lain sangat mungkin berbeda. Karena itu, generalisasi terhadap siapa Uighur bisa tidak tepat sasaran.

Sejak kapan dan bagaimana Uighur menjadi Muslim? 

Pertanyaan ini barangkali paling penting karena menyangkut Islam. Kita tahu, Muslim Indonesia itu hanya peduli dengan pelanggaran HAM sejauh korbannya adalah sesama Muslim. Jahat kan? Islam masuk ke Asia Tengah pada umumnya dan Xinjiang khususnya melalui proses yang panjang. Sebagian sukarela, sebagaian paksaan. Lewat perdagangan, juga lewat perkawainan. Dibawa para tentara, tetapi juga oleh para Sufi.

Tetapi proses Islamisasi secara massif terjadi melalui apa yang dalam pepatah Arab dikenal dengan an-nas ala dini mulukihmim, agama rakyat ikut agama rajanya, ketika raja Dinasi Qarakhanid, Satuq Bughra memeluk Islam. Islamisasi mengalami pasang surut sesudah itu bersamaan dengan jatuhnya wilayah itu ke tangan para penguasa non-Muslim. Islam, khususnya para Sufi, kembali muncul dan menguatkan pengaruhnya di kawasan itu sekitar abad ke-14, pada zaman Tughluq Temur. Meski agak sulit dipastikan, pada abad inilah Islam menjadi agama kawasan itu.

Apakah Xinjiang hanya 'milik' Uighur? 

Ini pertanyaan yang agak komplek untuk dijawab. Jawabannya tidak semudah mengatakan: ya, karena nama administrasi resmi kawasan itu sendiri yang menunjukan kawasan itu sebagai kawasan Uighur: Xinjiang Uyghur Autonomous Region. Tetapi juga tidak semudah orang bilang, "Xinjiang itu kawasan multi etnis, orang Uighur hanya 46%!"

Jawaban akan berbeda dengan sudut pandang yang berbeda. Ada dua 'garis' ukur yang harus digunakan untuk menjawab: garis waktu dan garis geografi. Secara garis waktu, ada perubahan komposisi yang signifikan antara pra-1949 dengan sesudah 1949. Dulu mayoritas penduduk Xinjiang adalah Uighur (hingga 75% menurut data yang tersedia, meskipun sensus pada zaman itu tentu saja tidak terlalu akurat). Karena itulah, pemerintah China memberi nama Xinjiang Uyghur Autonomous Region pada tahun 1950an.

Kemudian, dari 1949 ke sini, terjadi migrasi besar-besaran etnis Han, etnis mayoritas China ke kawasan itu. Gelombang migrasi ini sebagian besar disponsori oleh negara, sebagian sukarela. Mirip progam transmigrasi di Indonesia itu, Partai Komunis China menggunakan alat ideologis untuk mengirimkan orang-orang partai, kadernya, dan keluarganya untuk hijrah ke Xinjiang.

Migrasi besar ini mengubah drastis wajah Xinjiang dengan komposisi sekarang. Etnis Han yang semula hanya 6% pada tahun 1940an, kini sudah mencapai 40%. Garis batas kedua adalah geografi saat ini. Setelah terjadi migrasi besar-besaran itu, mayoritas penduduk di kawasan Xinjiang Utara beretnis Han. Di Ibukota XUAR, Urumqi, etnis Han mencapai 75%.

Sedangkan di Xinjiang Selatan, yang dianggap sebagai 'kampung halaman Uighur' dan di masa lalu disebut East Turkestan, mayoritas penduduknya (sebagian kota mencapao 90%) beretnis Uighur.

Jadi pertanyaan apakah Xinjiang itu milik Uighur adalah pertanyaan politis yang berat. Fakta demografis yang kita paparkan barusan adalah salah satu sumber kekacauan utama Xinjiang saat ini. Migrasi etnis Han itu berdampak pada tersingkirnya orang Uighur dari banyak sektor di Xinjiang. Sektor politik, sudah pasti. Sektor ekonomi juga sudah tak terelakkan karena mayoritas perusahaan yang beroperasi di Xinjiang dikuasai orang Han. Di sektor pertanian, orang Han yang berpartisipasi lewat program reklamasi tanah menguasai lebih dari sepertiga lahan subur. Dibandingkan dengan persoalan agama, persoalan dominasi etnis Han itu jauh lebih serius mengancam orang Uighur.

Seberapa sering terjadi konflik dan kekerasan di Xinjiang? 

Seperti kutipan saya tadi, kisah Xinjiang itu a history of conquest and settlement. Berabad-abad Xinjiang itu menjadi wilayah penaklukan, wilayah perang, tetapi tentu saja ada masa damai yang dilewatinya. Faktor etnis dan agama, dalam konteks ini, kadang tidak penting-penting amat untuk dijadikan kriteria. Sebab, Xinjiang pernah relatif 'menderita' di bawah kekuasaan Muslim Kirgis. Mereka menderita karena si penguasa ini menerapkan Islam garis keras, seperti mewajibkan penggunaan cadar bagi perempuan, yang tidak sesuai dengan cara berislam di Xinjiang yang moderat dan sufis.

Secara umum, tidak ada 'perang perlawanan' yang dilakukan oleh Uighur sejak zaman republik rakyat China. Letupan-letupan kekecewaan terhadap Beijing biasanya mengambil bentuk kerusuhan-keurusuhan dengan skala yang terlokalisir di satu kota dan berlangsung dalam waktu yang singkat. 

Sepanjang Periode Partai Komunis China (1949-sekarang), kerusuhan paling besar terjadi pada tahun 2009. Kerusuhan yang terjadi di ibukota Urumqi ini selain menelan banyak korban jiwa dan harta benda juga menjadi titik balik kebijakan Beijing yang lebih keras terhadap Xinjiang. Penangkapan besar-besaran, penutupan akses internet, dan berbagai langkah represif lainnya. Berbagai berita yang hari ini terdengar dan terbaca, seperti "kamp reedukasi/konsentrasi" adalah buah dari kerusuhan 2009.

Jadi, apa yang terjadi sekarang sama dengan yang dulu-dulu?

Pada dasarnya ya. Anda bisa bayangkan bagaimana susahnya hidup sebagai minoritas di bawah duli mayoritas yang tidak hanya menguasai kampung halamanmu, mengeksploitasi hasil buminya, hingga mengancam identitas kulturalnya. Albert Hourani pernah mengatakan bahwa menjadi minoritas itu, "even in the best condition is not easy" (saya lupa membaca dimana). Intinya, tidak ada enaknya menjadi minoritas itu.

Dengan keadaan yang tidak enak itu, maka tidak enak pula bagi pemerintah China. Apa pun usaha yang sudah ditempuh hingga hari ini tampaknya belum bisa memuaskan semua orang Uighur di Xinjiang. Beberapa program pemerintah pusat yang berniat baik, misalnya, untuk meningkatkan taraf hidup orang Uighur, kadang justru berbuah sebaliknya. Baik karena efek yang tidak diduga maupun karena tidak adanya kompetennya pelaksana kebijakan.

Program yang saat ini dipotretkan di media Barat sebagai kamp konsentrasi itu adalah satu paket program niat baik pemerintah China untuk memberikan bekal keterampilan kerja bagi orang Uighur. Salah satunya adalah program bahasa Mandarin. Secara ekonomi, bahasa mandarin ini penting dikuasai oleh orang Uighur karena bahasa Mandarin adalah bahasa pemerintahan, pendidikan, dan terpenting ekonomi. Orang Uighur tidak akan terserap dengan baik oleh lapangan pekerjaan jika mereka tidak bisa berbahasa Mandarin.

Tetapi dari sudut pandang orang Uighur, kewajiban bahasa Mandarin itu sama dengan pembunuhan identitas kultural mereka. Ini adalah efek yang sepertinya tidak diduga oleh pemerintah China. Susana semakin keruh karena program ini di media Barat diframing sebagai program kamp konsentrasi reedukasi untuk tujuan brainwashing. Framing yang mungkin tidak sepenuhnya salah jika kita tidak tahu persis membedakan mana program asistensi kerja (yang dikunjungi para tokoh Islam) dengan program deradikalisasi yang menggunakan pendekatan yang hampir sama.

Mengapa baru sekarang ramai kita dengar? Mengapa baru sekarang ramai?

Berdasarkan pemahaman saya yang terbatas, karena perubahan konteks di banyak aspek. Dari buku-buku yang saya baca, saya bisa simpulkan. Pertama, karena perubahan posisi Xinjiang di mata China, dari daerah 'pertahanan di garis depan' (dulu, zaman kolonial), atau zona bumper, menjadi daerah 'ujung tombak'. Jika dulu China defensif di hadapan ekspansi Imperium Rusia di Barat dan Utara, dan Inggris di Selatan, sekarang China yang sedang melakukan ekspansi pengaruh ke barat yang menembus hingga Timur Tengah dan Eropa Timur. Ekspansi China ke barat ini bertemu dengan kepentingan Amerika di kawasan itu. Sehingga isu Xinjiang yang semula kalah populer dibandingkan Tibet, kini mencuat.
Kedua, sejak peristiwa Urumqi 2009 dan serangan teroris di sejumlah kota di luar Xinjiang, China mengambil langkah yang lebih represif dan menimbulkan reaksi yang lebih menguat di kalangan orang Uighur di luar negeri untuk lebih lantang menyuarakan nasib mereka. Internet dan media sosial tentu saja membantu luas jangkauan suara mereka dibandingkan pra 2009.

Jadi, benarkah ada pelanggaran HAM di Xinjiang?

Tidak hanya di Xinjiang! Jika indikator HAM dan kebebasan yang kita gunakan adalah yang standar Barat, China adalah pelanggar HAM kelas berat. Nah, Xinjiang mengalami yang lebih berat. Dalam hal ini, saya jelas tidak setuju dengan pandangan para tokoh NU dan Muhammadiyah yang menafikan hingga mengecilkan beratnya pelanggaran HAM di Xinjiang. Khususnya, tiga tahun terakhir, pemerintah China jelas-jelas melakukan segala cara dan segala bentuk represi terhadap etnis Uighur yang tidak bisa kita tolerir.

Tetapi saya juga tidak mau naif mengambil sikap para pengusung tagar #saveuighur yang cenderung mengamini semua berita dari media Barat dan kelompok separatis.Mereka ini kelompok yang malas belajar dan hanya mengedepankan sentimen agama untuk membela yang tertindas. Teriak anti penindasan tetapi kadang lupa bahwa mereka sendiri juga penindas minoritas di sini.

Jadi, sikap apa yang harusnya diambil? 

Bagi saya, persoalan Xinjiang itu harus diletakkan pertama-tama untuk "mewujudkan perdamaian" dengan harga berapapun yang harus dibayar. Nah, harga pertama yang harus dibayar itu adalah mengakui kedaulatan China atas Xinjiang dan membuang jauh-jauh ide separatisme.

Mengapa harus mengakui kedaulatan China? Pertama, karena China akan melakukan apa pun untuk mempertahankan Uighur dan karena sejarah panjang Uighur sebagai bagian dari China. Kedua, karena dengan mengakui kedaulatan itu terbuka peluang bagi kita untuk menjadi mitra yang tulus bagi China yang kesulitan menyelesaikan masalah dalam negerinya.

Saya berpendapat, bahwa daripada menganggap China sebagai monster yang bertindak tanpa welas asih, lebih baik kita melihatnya sebagai ibu tiri yang ingin mendidik anaknya tetapi salah pendekatan, salah komunikasi, dan salah mengambil tindakan.

China sama sekali tidak mungkin menjadi monster jahat bagi Uighur karena mereka ini juga 'pedagang' yang baik. Mereka telah dan akan berusaha keras untuk menunjukkan kepada dunia Islam khususnya bahwa mereka berbuat baik kepada rakyat Muslimnya. Mereka pasti juga tidak ini mengorbankan kepentingan ekomoninya dengan negara-negara Muslim dengan mengabaikan sepenuhnya hak orang Uighur.

Undangan kunjungan para tokoh Muslim Indonesia itu, menurut saya, jangan dilihat sebagai upaya jahat menyogok mereka, tetapi sebagai gestur niat baik untuk menunjukkan bahwa mereka serius ingin berbuat baik bagi Uighur.

Dengan mengubah perspektif ini, saya percaya kita bisa memulai berbuat baik untuk Uighur. Ya, tentu baru mulai, langkah pertama saja. tetapi tanpa langkah pertama ini, mana mungkin kita berbuat lebih untuk Uighur.


BAHAN BACAAN 

Tanya jawab di atas saya susun dengan melakukan riset literatur yang cukup mengkonsumsi waktu dan saya sampaikan dengan tanggungjawab penuh sebagai akademisi. Saya tidak mencantumkan catatan kaki per poin yang saya tulis tetapi saya mengambilnya dari buku-buku dan artikel jurnal berikut jika Anda ingin melacak lebih lanjut.

  1. (Brill’s Inner Asian Library) Joanne Smith Finley - The Art of Symbolic Resistance_ Uyghur Identities and Uyghur-Han Relations in Contemporary Xinjiang-BRILL (2013) 
  2. (China Studies volume VOLUME 17) Ildikó Bellér-Hann - Community Matters in Xinjiang 1880-1949_ 
  3. Towards a Historical Anthropology of the Uyghur-Brill Academic Pub (2008) 
  4. (Durham East Asia Series) Michael Dillon - Xinjiang_ China's Muslim Far Northwest-Routledge (2003) 
  5. (Politics and Development of Contemporary China) Shaoying Zhang, Derek McGhee (auth.) - Social Policies and Ethnic Conflict in China_ Lessons from Xinjiang-Palgrave Macmillan UK (2014) 
  6. (Routledge Contemporary China Series) Anna Hayes, Michael Clarke (eds.) - Inside Xinjiang_ Space, Place and Power in China’s Muslim Far Northwest-Routledge (2016) 
  7. (Studies of Central Asia and the Caucasus) S. Frederick Starr - Xinjiang_ China's Muslim Borderland-M E Sharpe Inc (2004) 
  8. (Travel Guide Chapter) Lonely Planet - Lonely Planet Xinjiang, Urumqi; Northern China-Lonely Planet (2016) 
  9. Bovingdon G. - Autonomy in Xinjiang_ Han nationalist imperatives and Uyghur discontent Dwyer A.M. - The Xinjiang conflict_ Uyghur identity, language policy, and political discourse 
  10. Ethnic Stratification amid China’s Economic Transition evidence from uighur Holdstock, 
  11. Nick - China's forgotten people _ Xinjiang, terror and the Chinese state-I.B. Tauris & Co. Ltd (2015) 
  12. James A. Millward - Eurasian Crossroads_ A History of Xinjiang-Columbia University Press (2007)
  13. James A. Millward, Yasushi Shinmen, Jun Sugawara - Studies on Xinjiang Historical Sources in 17–20th Centuries-Toyo Bunko (2010)
  14. Justin M. Jacobs - Xinjiang and the Modern Chinese State-University of Washington Press (2016)
  15. Linda Benson - The Ili Rebellion_ The Moslem Challenge to Chinese Authority in Xinjiang, 1944-1949-M E Sharpe Inc (1990) 
  16. R. A. - Reflections on Chinese Policy in Xinjiang-Uighur Autonomous Region. An eyewitness account of 5 July 2009 and the aftermath-Islamic Human Rights Commission (2011) 
  17. Ma. Rong, The development of minority education and the practice of bilingual in uyghur, Front. Educ China 2009, 4(2): 188–251, DOI 10.1007/s11516-009-0012-3 
  18. The Partnership of Stability in Xinjiang: State–Society Interactions Following the July 2009 Unrest, Author(s): Thomas Cliff, Source: The China Journal, No. 68 (July 2012), pp. 79-105 
  19. Thomas Cliff - Oil and Water_ Being Han in Xinjiang-University of Chicago Press (2016) 
  20. Xinjiang in the Nineties, Author(s): Nicolas Becquelin, Source: The China Journal, No. 44 (Jul., 2000), pp. 65-90 
  21. Yuhui Li - China’s Assistance Program in Xinjiang_ A Sociological Analysis-Lexington Books (2018)

2 Komentar

  1. Maturnuwun pak, sudah mempublish hasil studinya.

    BalasHapus
  2. Hmmm...informatif. Terima kasih, tp juga tetap bias karena sumber bacaannya dari UK...apa bedanya dengan membaca dari sumber Amerika yang kata Anda sebagai lawan China. Tidakkah UK juga memiliki cara pandangnya sendiri terhadap China. Saran saya sumber bacaan juga dari China atau Internal Xinjiang agar ada second opinion. Baik lagi kalau datang langsung ke Xinjiang kan?

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama