Muadzin Perempuan di Langgar Kami


Enam tahun yang lalu, kami punya Mbah Ponijo. Muadzin yang pertama saya tahu ketika saya pindah dan tinggal di kampung ini. Ia sudah meninggal. Lalu, muncullah Pak Rohmadi, yang suaranya lantang dan tak pernah datang terlambat ke langgar di kala fajar terbit. Ia juga sudah meninggal hampir setahun yang lalu. Kemudian, sebagai gantinya, kami punya Pak Paiman. Ia sudah tua dan sering sakit-sakitan. Di antara para muadzin tersebut, kami punya Taufik, anak muda yang kadang adzan di langgar kami kalau ia pas tidak adzan di masjid.

Beberapa hari ini, Pak Paiman sakit. Ia sudah seminggu tidak ke langgar. Maghrib dan Isya', Taufiq masih sering adzan. Masalahnya adalah saat subuh. Kalau Pak paiman sehat, Pak Paiman yang adzan. Taufiq, seperti anak muda yang lain, mungkin masih tidur. Sudah hal yang lumrah di mana-mana kalau masjid dan langgar Subuh hanya berisi para manula. Langgar kami bukan langgar istimewa, maka ya tidak ada bedanya :)

Jadi, siapa yang adzan? Tentu saja ia yang pertama datang ke langgar. Dalam urutan itulah kami punya Mbah Tukir. Perempuan usia senja yang selalu datang ke langgar dengan naik sepeda jengki tuanya. Usianya mungkin 65 tahun. Ia naik sepeda karena ia adalah jamaah dari RT sebelah, yang jaraknya paling jauh dibandingkan jamaah kami yang lain.

Sebagai pendatang, saya tidak tahu persis tetangga saya keculai sepotong demi sepotong informasi yang saya dengar dari gardu ronda, kumpulan malam Jumat Kliwon, kerjabakti, atau obrolan di langgar usai salat jamaah. Termasuk tentang Mbah Tukir. Sepotong informasi menyebut ia dulu pernah terlibat di organisasi perempuan kiri di zaman Orla. Bukan aktifis. Nasibnya ya kurang lebih sama dengan nasib ratusan atau jutaan anggota organisasi itu yang dibantai awal Orba. Tidak terlibat aktif, ikut-ikutan, dan hanya pernah ikut pertemuan satu dua kali. Lalu, risikonya ikut mati dibantai. Mbah Tukir konon pernah ikut kelompok seni partai itu.

Sepotong berita lain adalah tentang anak mbarep-nya. Si anak dikenal sebagai preman paling ditakuti di wilayah Bantul. Para pendatang di kampung ini juga takut sama dia. Saya belum pernah tahu si preman. Saat saya pindah kemari, ia sudah mati karena ulahnya sendiri. Konon ia mati karena minum minuman keras. Mungkin seperti para korban oplosan yang sering ditayang di Tivi. Terlepas dari cara matinya, menurut sepotong informasi lainnya, mereka yang datang berkabung ratusan orang atau, mungkin, ribuan.

Agak aneh, preman mati koq banyak yang merasa kehilangan. Jangan-jangan ia jagoan seperti Robin Hood. Preman di mata siapa, pahlawan di mata siapa?

Tetapi, potongan-potongan informasi itu hanya menambah kebaikan saja bagi saya, pendatang baru yang tidak mengalami masa lalu mereka. Seperti kisah kejahatan Sunan Kalijaga di masa muda. Siapa yang peduli masa lalunya? Keluarga Mbah Tukir yang sekarang adalah keluarga yang baik. Adik kandung si preman, Glampong -- begitu nama panggilannya --sering juga adzan di langgar. Sama seperti ibunya, Mbah Tukir, Glampong juga rajin berjamaah walau rumahnya jauh dari langgar.

Pak Paiman sakit, Taufiq masih tidur, dan Glampong sedang punya lemburan kerjaan sebagai tukang potong kayu sampai malam. Langgar kami pun kehabisan muadzin dalam seminggu ini.

Mbah Tukir, perempuan berusia senja yang selalu datang ke langgar pertama, tidak bisa tinggal diam. Sehabis menggelar tikar, ia segera bunyikan speaker dan mengumandangkan adzan. "Banguuuun, banguuuun! Subuuuuuh! Subuuuh! Bapak-bapaaaaak. Monggo sami dateng langgar."

Tentu saja bukan adzan Arab yang ia kumandangkan, tetapi adzan khas temuan Mbah Tukir van Glagah Kidul. Kalau saya yang kemudian datang dan tidak ada lagi jamaah yang bisa ditunggu, saya langsung kumandangkan iqamah dan memimpin jamaah. Adzannya sudah Mbah Tukir tadi, cukup.

Ada jalan lain untuk adzan?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama