Catatan Ramadhan (9): Saya Bukan Ustadz

Kalau ustadz berarti "tukang ceramah agama di masjid, radio, dan TV", maka saya tidak ingin jadi "ustadz". Saya mencintai profesai saya sebagai "dosen". Dalam bahasa Arab "dosen" juga disebut "أستاذ", tetapi tidak punya makna "tukang ceramah". Makna أستاذ sama dengan "guru". Saya malah lebih suka profesi 'guru' ini karena dosen sebenarnya adalah nama lain dari guru -- untuk pekerjaan yang sama.

Mengapa saya tidak mau menjadi ustadz? Saya merasa tugas menjadi ustadz itu berat, lebih berat daripada dosen.

Saya sering bilang ke mahasiswa saya, tugas ustadz itu menyampaikan kebenaran (dan ini berat), sementara tugas dosen menyampaikan "keraguan" (dan ini gampang, tinggal mengajukan pertanyaan kritis yang mengguncang kemapanan nalar). Dengan mengajukan keraguan, saya tidak punya beban kalau ada yang salah dengan pertanyaan saya -- tanya saja masak nggak boleh? apa ada yang tabu untuk ditanyakan?

Kalau Ustadz punya beban untuk meyakinkan orang bahwa Allah itu maha Esa, dan tauhid harus dijaga semurni-murninya; saya, dosen, bebas saja bertanya, "Mengapa Allah cuma satu? Kalau Allah itu baik, mengapa tidak kita punya dua atau tiga atau empat atau banyak?" Karena dosen mengajar mahasiswa yang menurut mereka sendiri (saya dengar saat demo maupun OPAK) adalah golongan manusia dewasa, hebat, dan berpikir kritis, maka saya tidak punya kewajiban untuk meyakinkan mereka. Kalau mereka ragu, maka kewajiban mereka sendiri untuk mencari jawaban. Manusia dewasa bertanggungjawab atas dirinya!

Karena itu, tujuan ustadz juga lebih berat: menentramkan hati orang. Saya dengar ada yang menyebutnya sebagai "manajemen kalbu", memberi "tombo ati", atau "membimbing umat". Aduh, saya tidak sanggup. Hati saya sendiri sering galau. Hati saya sendiri kotor. Mana mungkin saya jadi ustadz? Konon, ucapan yang datang dari hati, akan mengena di hati. Kalau hati saya kotor, bukannya nanti malah menulari orang yang saya ceramahi?

Terlebih lagi, ada ancaman keras yang saya ingat terus sejak mondok di pesantren dulu: Sebesar-besarnya dosa di mata Allah adalah "an taqulu ma la taf'alun" (menyuruh-nyuruh orang lain, apa yang kalian sendiri tidak kerjakan). Dosen, karena fungsinya yang lebih sebagai pendamping belajar, tidak perlu menyuruh. Kami cukup memberi pancingan saja, memberikan berbagai bacaan, dan paling banter cuma jadi penggugah pertanyaan, "kalian masak tidak begini dan tidak begitu?"

Karena ustadz mendakwahkan kesucian diri, maka ia juga wajib menjadi teladan kesucian bagi umatnya. Sungguh, itu lebih berat lagi daripada yang berat-berat di atas. Saya bukan tipe orang yang bisa menjadi teladan, bahkan untuk lingkungan terkecil, keluarga saya sendiri. Saya sering menyesal dan selalu mengatakan ke diri ini, "Belajarlah jadi teladan, anak-anak sudah mulai meniru kita dan mencari panutan." Selalu saya katakan, dan selalu saya lupakan. Duh.

Terakhir, saya sesungguhnya lebih menikmati menulis seperti ini daripada menjadi penceramah. Menulis, saya kira, juga profesi yang baik, yang mungkin juga bisa meringankan beban para ustadz.

Jadi, sungguh, saya tidak ingin menjadi uztadz. Kalau selama bulan Ramadhan saya menyediakan diri untuk disuruh bicara agama di sana-sini, di masjid kampus, langgar kampung dan di radio, saya punya alasan yang akan saya ceritakan di tulisan mendatang. Sabar ya, sambil saya dengar komentar Anda dulu. :)

Ruang Belajar PSLD, 18 Juli 2013

1 Komentar

  1. mahasiswa kkn juga banyak pak yg ngisi kultum di tarawih dan kultum subuh hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama