Menjadi Ustadz

Kita lanjutkan diskusi kita tentang ustadz dan dosen. Meskipun berat, kadang dosen harus menyediakan diri sebagai 'ustadz'. Apalagi dosen Fiqih dan dosen-dosen studi keislaman yang lain. Saya menyebutnya sebagai 'keharusan', bukan pilihan, cita-cita, apalagi ambisi. Ada beberapa keadaan yang mengharuskan kita menjadi ustadz.

Pertama, di luar sana kita menyaksikan kebutuhan yang tinggi akan adanya seorang penceramah. "Pasar" ceramah sepertinya tak pernah surut walau harga BBM naik atau inflasi selangit. Jujur saja, saya tidak tahu mengapa orang Indonesia butuh siraman rohani. Hidup yang terlalu sulitkah? Ingin masuk surga kah? Takut masuk neraka? Ingin menjadi orang shaleh? Entahlah. Saya bukan sosiolog. Saya hanya heran saja karena banyaknya ceramah yang disiramkan ke masyarakat toh seperti tak ada efeknya: jalanan kita dihuni orangorang yang tidak berakhlak, birokrasi kita tetap korup, pasar kita dipenuhi makanan haram (karena dicampuri bahan-bahan kimia), helm di parkiran bisa hilang... Koq sepertinya tidak ada hubungan antara permintaan ceramah yang tinggi dengan perbaikan masyarakat. (Kata teman saya, "coba dilihat sebaliknya: sudah diceramahi saja masih rusak, apalagi kalau tidak?") Apa pun lah, poin saya adalah adanya demand yang tinggi untuk dai.

Kedua, terkait dengan yang pertama, kebutuhan yang tinggi itu tidak diikuti suplai yang cukup. Secara kuantitas? Stocknya tidak banyak. Secara kualitas? hadew, ampun banget! Saya pernah dengar seorang ustadz di radio menjelaskan tentang zakat profesi, ketika ia sadar bahwa yang wajib zakat profesi itu adalah orang-orang yang penghasilan bersihnya (setelah dikurangi kebutuhan sehari-hari) di atas 3 juta, ia seperti bingung. Waktu ditanya oleh host-nya, "Jadi, banyak dong di antara kita yang sesungguhnya tidak wajib membayar zakat profesi?" Ustadz itu segera menjawab, "Ya... begitulah. Tapi jangan lupa, masih ada infaq-infaq wajib yang lain, seperti diyat!" Hemmmmmmm. Infaq wajib? Diyat?  

Nah, ini mungkin juga menjawab pertanyaan pertama tadi: meskipun ada banjir ceramah lewat radio, TV, masjid, dan mushalla, tetapi yang diguyurkan adalah air yang tidak layak konsumsi. Ustadznya banyak, tapi kualitasnya nol! 
Rumusnya menjadi begini, Pemahaman agama yang dangkal dan instan + keberuntungan karena popularitas = ceramah yang tak memperbaiki masyarakat!

Dua alasan itu saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk mengharuskan mereka yang belajar Islam "secara profesional" (baik di pesantren maupun di madrasah hingga kuliah di jurusan agama di IAIN) untuk mau terjun menjadi ustadz. Sedih sekali kita kalau melihat orang membaca buku agama semalam lalu besoknya ceramah di masjid dengan pelafalan kalimat Arab yang terbata-bata. Sebaiknya, kita salahkan diri kita saja yang tidak mau ceramah daripada mengkritik kualitas para ustadz itu...

Alasan ketiga lebih serius lagi. Ada teori yang selama ini berkembang: mereka yang belajar agama secara mendalam umumnya menjadi moderat; mereka yang belajar agama sedikit umumnya menjadi fanatik, formal, dan radikal. Bayangkan, Islam apa yang akan diajarkan oleh para ustadz 'amatir' itu? Sudahlah, ayo kita turun. Saya pernah diskusi dengan kolega sesama dosen yang punya reputasi akademik internasional, pemikir Muslim yang sangat kritis, dan ia mengeluhkan masjid di samping rumahnya yang diisi para ustadz amatir dan menyebarkan kebencian kepada non-Muslim. Saya bilang, "Kesalahan sampeyan dan orang-orang hebat semisal sampeyan adalah: tidak mau ngurusi masjid!"

Boleh saja kita menjadi intelektual Muslim hebat, menulis dengan bahasa asing, membaca teori-teori filsafat dan sosial paling mutakhir lalu menulis di berbagai jurnal terakreditasi A atau dengan reputasi internasional, tentang Islam dan pluralisme, Islam dan demokrasi, Islam dan hak asasi manusia. Boleh, tentu saja boleh. Tetapi the real battle is here: di masjid sebelah rumah, di khutbah jumat, dan kuliah subuh! 

Jadi, meskipun saya tidak mau jadi ustadz dan populer sebagai ustadz, saya merasa harus turun karena saya ingin memberikan kontribusi riil dalam pertarungan ideologis itu. Saya tidak pernah menikmati panggilan ustadz karena besarnya amanat yang harus dipikul; tetapi saya merasa berdosa kalau umat harus mendengar ajaran Islam "KW 2 dan 3", yang terasa norak, dangkal, dan simbolik semata. Kepada kolega saya tadi saya bilang, "Ayolah Cak, kita turun." Alhamdulillah, ia bahkan sekarang mau menjadi muadzin di masjid sebelah rumahnya! :)

Catatan Ramadhan (10)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama