Catatan Ramadhan (11): Puasa yang Etis

Saya mengajar Fiqih dan rasanya agak janggal jika saya harus bicara tentang puasa secara etis. Tetapi, Fiqih mana yang cukup berhenti menjadi Fiqih? Justru, kewajiban Fiqih-lah untuk berlanjut di level berikutnya. Puasa Fiqih adalah puasa di level pondasi, ia berada di bawah, dan yang di bawah perlu dinaikkan hingga menjangkau tujuan tertinggi puasa.

Dalam bahasa pesantren dulu, kita sering mendengar soal level syariat dan haqiqat. Level syariat adalah level Fiqih. Di level Fiqih, kita penuhi segala syarat dan rukun. Jika terpenuhi, maka yang kita peroleh adalah 'keabsahan' puasa, gugur kewajiban, tidak berdosa. Titik. Level haqiqat adalah level yang lebih tinggi, level maknawi. Puasa tidak lagi diukur dengan sah-batal, tetapi "diterima" dan "ditolak".

Tentang dua tingkatan ini Rasulullah berpesan:
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " كم من صائم ليس له من صيامه إلا الظمأ ، وكم من قائم ليس له من قيامه إلا السهر " . رواه الدارمي وذكر حديث لقيط بن صبرة في باب سنن الوضوء .

Para da'i juga sering mengutip teori Imam al-Ghazzali tentang tiga tingkatan puasa (lihat artikel ini):
  • Puasa Awam: Puasa dari makan dan minum
  • Puasa Khawwas: Puasa indrawi (tangan, mata, telinga, mulut, hidung) dari segala jenis dosa
  • Puasa Khawwas al-Khawwas: Puasanya hati dari berfikir tentang hal-hal yang dosa.

Sementara Ibn al-Arabi, membagi puasa dalam empat tingkatan (lihat di sini):
: إن الصوم على أربعة أنواع
 صيام العوام ، وهو الصوم عن الأكل والشرب والجماع
وصيام خواص العوام ، وهو هذا مع اجتناب المحرمات من قول أو فعل
وصيام الخواص ، وهو الصوم عن غير ذكر الله وعبادته
وصيام خواص الخواص ، وهو الصوم عن غير الله ، فلا فطر لهم إلى يوم القيامة

Tetapi menurut saya, definisi-definisi puasa tingkat lanjut di atas masih kurang karena hanya berorientasi pada kualitas si puasa. Puasa, dengan mengingatnya sebagai media untuk empati kepada orang miskin, sebagai media untuk meningkat pribadi yang baik di tengah masyarakat, harusnya dibagi dalam tiga tingkatan:

  1. Puasa yang berorientasi pada peningkatan kapasitas pribadi (puasa tingkat 1-3 dalam definisi Ibn al-Arabi di atas)
  2. Puasa yang berorentasi spiritual-vertikal (level 4 dalam kriteria Ibn al-Arabi)
  3. Puasa yang berdampak sosial, yaitu puasa yang setelah semua tingkat personal-spirtual itu dicapai bisa menularkan keberkahan dan rahmat kepada lingkungan sekitar.
Puasa yang terbaik adalah puasa yang sudah bermanfaat bagi orang lain, dan itulah puasa yang beretika sosial.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama