Stranger Than Fiction



Tak ada niat saya untuk menonton film ini malam ini. Saya sekedar mencobanya saja. Ah, saya harus menyelesaikan salah satu paper kuliah saya. Tak boleh buang-buang waktu hanya untuk menonton film.

Tetapi, film yang satu ini berhasil menjerat saya sejak dari awal. Saya belum pernah membaca review atau mencoba melihat potongan previewnya, jadi I have no idea about the movie. What I know is that this is a commedy.

Saya terjerat ketika si tokoh utama film ini, Harold Crick (Will Ferrel) dinarasikan seperti lazimnya film-film lain. Si narator, seorang perempuan beraksen British, mendeskripsikan siapa Harold dan apa saja yang dilakukannya, secara detail, sampai pada adegan Harold mendengar suara si narator. Ia berhenti sejenak untuk memastikan bahwa ia mendengar suara itu. Namun, begitu ia berhenti dari aktifitas rutinnya, aktifitas yang ia jalani secara monotn selama lebih dari sepuluh tahun, si narator pun berhenti. Ia sampai berteriak marah menantang si naratoe untuk menunjukkan dirinya. Lucu sekali. Pantas film ini dikategorikan film komedi.

Rasa penasaran akibat adegan awal ini menyeret saya untuk terus menyimak what's going on. Nggak terasa, sudah seperempat film ini saya tonton.

Adegan demi adegan berikutnya adalah upaya Harold memahami suara narasi itu. Lalu, di scene yang lain, penonton diperkenalkan dengan pemilik suara narasi itu, Karen Eiffel (Emma Thompson), seorang penulis novel. Ia terkenal sebagai penulis tragedi dan saat itu ia tengah ditekan oleh penerbit untuk segera menyelesaikan bukunya. Seperti buku-bukunya yang terdahulu, si tokoh harus mati dan Karen tengah mencari cara bagaiamana membunuh Harold, karakter utama di novel yang tengah ia tulis.

Sampai di situ, saya pikir Harold adalah tokoh fiksi, dan film ini menceritakan si novelis yang hidup di dunia nyata. Ups, ternyata saya salah. Keduanya adalah nyata.

Harold nyata, yang mendengar suara narasi itu, dan si penulis yang hendak membunuh Harold fiksi, disambungkan secara tidak sengaja ketika si penulis tengah diwawancarai sebuah televisi dan Harold kebetulan menyaksikannya. Harold yang pernah mendengar dari narasi itu bahwa ia akan "dibunuh" oleh sang penulis, segera mencoba mengontaknya. Upaya mengontak lewat penerbit gagal, tetapi ia memanfaatkan profesinya sebagai penagih pajak untuk mendapatkan alamat dan nomor telpon si penulis.

Ketika Harold menelpon, si penulis tengah mengetik lembar terakhir novelnya, bagian tragis kematian Harold. Ajaib! Telpon di ruangannya berdering persis seperti yang ia narasikan. Ketika ia ketik "3x dering," telpon berdering untuk ketiga kalinya. Begitu telpon ia angkat dan mendengar suara Harold, Karen/Kay nyaris pingsan karena ia ternyata menulis nasib orang, orang-orang baik yang selama ini selalu ia bunuh di akhir novel-novel tragedinya.

Bagi Kay, ketika si karakter kini hadir dalam hidup nyata, bisakah ia membunuhnya demi sebuah karya masterpiece, yang dalam genre tragedi pahlawan harus mati? Bagi Harold, bisakah ia mencegah kematian dirinya? Memaksa Kay untuk mengubah plot? Bagian yang ini adalah bagian yang sangat filosofis dalam film ini. Sama sekali bukan komedi. Penonton diajak merenung apa artinya hidup dan mati, diajak merenungi bahwa kematian pasti datang, entah kita tahu atau tidak, entah dekat atau jauh. Sangat touching.

Saya rasa, lebih baik saya tak menceritakan deh bagaimana menyelesaikan dilema ini. Saya sendiri tak bisa menebak sampai menit terakhir apakah Harold harus mati atau tidak, dan di situlah indahnya film ini.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama