Rosyidin, Syamsul, Muhaimin... dan aku

Dulu ada Rosyidin, selalu. Waktu masih di asrama MAPK itu, Rosyidin adalah teman yang kami andalkan untuk mendapat potong rambut gratis. Dia memang pintar memotong, rapi, dan sesuai permintaan. Ah, untung Rosyidin tidak buka salon. Kalau itu yang dilakukannya sehabis lulus MAPK, pasti dia nggak jadi penghulu di KUA.

Lalu, ada Syamsul. Hemmm. Syamsul bukan teman kami. Juga bukan tetangga. Kalau ada yang sempat main ke Solo. Jalan-jalanlah ke belakang stadion Sriwedari. Di deretan kios yang di blok barat, kita akan akan ketemu dengan Syamsul. Oh, mungkin dia sendiri nggak lagi di situ. Saya kira, dia pasti sudah jadi bos. Syamsul adalah nama tukang potong rambut madura dan sekaligus nama kiosnya. Saya berani menduga bahwa dia tak lagi di sana karena dulu saja dia sudah punya cabang di daerah Kadipiro. Mengingat bahwa orang Madura biasanya rajin dan pandai mengembangkan usaha, mungkin Syamsul sudah punya lebih dari tiga kios. Entahlah. Syamsul adalah langganan saya untuk urusan potong rambut.

Sewaktu pindah kuliah di Jogja, saya bertemu lagi dengan geng Jember yang pintar potong rambut. Royidin sudah lulus, tetapi masih ada satu lagi yang handal. Teman-teman alumni Jember pasti banyak berhutang jasa kepada Muhaimin. Sama seperti Rosyidin, "Imin" juga jago potong rambut. Tangannya memangkas rambut secanggih memetik gitar kesayangannya. Selama ada Muhamin, iritlah anggaran untuk potong rambut. Kadang kita tidak sadar pentingnya teman yang pintar potong rambut sampai kita kehilangan dia. Hemmm, Imin pulang ke Madiun. Seperti Rosyidin juga, untunglah Imin tidak membuka kios potong rambut. Kalau bisnis potong rambutnya laris, mungkin dia nggak akan jadi dosen di STAIN Kediri.

Sekarang saya di sini. Tidak ada Rosyidin, tidak ada Syamsul, dan tidak ada Imin. Setengah tahun pertama, saya biarkan rambut saya gondrong terurai. Mumpung jadi mahasiswa lagi lah. Saya juga takut tertular "virus Amerika". Tak kalah pentingya, potong rambut di sini mahal banget. $20-30!! Kalau Syamsul dan teman-teman Madura yang jago potong rambut itu tidak hanya berhenti mengembangkan sayap bisnisnya di Indonesia, mereka bisa kaya lho di sini.

Sewaktu pulang, rambut gondrong itu harus saya relakan dipotong. Bukan karena orang-orang di kantor IAIN nggak bisa menerima ada dosen berambut gondrong, tetapi karena istri saya ngambek nggak mau saya ajak pulang ke Blitar kalau rambut saya tidak dipotong. Okay. Manut, kalau sudah istri yang menuntut, apalagi yang bisa saya lakukan.

Sepulang dari Indonesia itu, saya tak lagi bercita-cita menggondrongkan rambut. Walaupun not reliable, saya ini juga biasa memotong rambut lho. Ya, rambut bapak, adik, dan anak saya. Nah, mengapa tidak berani untuk memotong rambut sendiri? Itulah yang saya pikirkan. Kini, sudah tiga atau empat kali saya memotong rambut sendiri. Sewaktu bos saya di Penerbit Mantiq dulu bilang bahwa dia biasa memotong sendiri rambutnya, saya nggak percaya, gimana caranya?

Gampang ternyata. Asal tidak ada Rosyidin, tidak ada Syamsul, dan tidak ada Muhaimin, yang semula tidak mungkin menjadi mungkin. Itu saja.

1 Komentar

  1. wah...mas, kalo ngomongin rosyidin banyuwangi, saya jadi kangen, walaupun terpaut jauh angkatan dg saya, dulu sering ditolongin sama rosyidin. pas mau brangkat ke IAIN jakarta, mampir dulu ke Wisma Dewo Jogja, sempet numpang makan sama dia, rosyidin kapan kita ketemu lagi yaa.... selamat ya sudah jadi Pejabat KUA...

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama