Two Different Eid

I just checked on liputan6.com to see when Indonesia would end their Ramadan. The news is classic: two different eids. The ministry of religious affairs (MORA) decided that Ramadan will end tomorrow and Eid Fitri will be on Tuesday. Muhammadiyah, second largest Muslim organization, decided instead to end Ramadan today and will have Eid tomorrow.

It is always the case. When the minister of MORA is a Muhammadiyah, NU would have different eid. And when the minister of MORA is NU, like Pak Maftuh Basuni, Muhammadiyah decide their own different Eid.

Do we need to repeat the same question on how to find an agreement?


I doubt that such an agreement is possible. There is seemingly a mix between religious interpretation and politics. According to hisab, the high of crescent will be less than 2 degree. Scholars disagree whether in such degree we can decide the new month or not. It is a matter of empirical truth. In most cases, when crescent is less than 2 degree, it cannot be captured by naked-eye. So, some argue that other wise we see by eye, we will complete Ramadan to 30 days. Others argue that even though eyes cannot see, it has already been a new date, meaning that it is not in Ramadan anymore.

If this is the case for the debate, we will never reach any agreement and that would be fine for me. But, If I had to propose a solution, I would ask a simple solution. We will change our way of deciding Ramadan every year. For example, for this year, we will let Hisab Mazhab to decide and all will follow whatever the Mazhab decide. Next year, however, we will let the Rukyah Mazhab to decide, and all will follow their decision. In this way, we really express the idea of toleration more than basa-basi, lip-service; we really put them into practice. It is a good idea isn't it?
Read My Ideas in its Indonesian Version below:
Tahun ini kita kembali mengakhiri Ramadan dan memulai Idul Fitri pada hari yang berbeda. Untuk kesekian kalinya, bagi yang merayakan lebaran sehari lebih awal, kita harus meniadakan takbir keliling dan menunda kegembiraan untuk berbagi masakan khas lebaran karena tetangga kita masih berpuasa. Tak ada yang perlu disesali dari perbedaan inimemang, tetapi tentu saja mengurangi ke-raya-an lebaran kita bila sebagian dari kita belum berhari-raya

Bisakah kita menyatukan hari raya? Menteri Agama Maftuh Basuni, dalam siaran pers siding itsbat lalu, menjanjikan akan dilakukannya koordinasi sehingga lebaran bisa dirayakan secara bersama-sama oleh umat Islam. Tetapi beliau tidak menyebutkan secara rinci kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah.

Perbedaan Fiqhiyyah

Perbedaan Idul Fitri sebenarnya hanyalah perbedaan Fiqhiyyah. Seperti kita maklumi, ada dua mazhab yang sama-sama meyakini bahwa cara yang mereka pilih adalah cara yang lebih benar.

Mereka yang memilih hisab berpandangan bahwa hasil hisab semata sudah cukup valid untuk menentukan awal bulan. Perintah Nabi yang berbunyi, “Puasalah setelah melihat bulan dan akhirilah setelah melihat bulan” ditafsirkan sebagai “salah satu cara” saja. “Melihat” tidak harus dengan mata, tetapi bisa dengan “ilmu”.

Sementara mereka yang menganut ru’yah sebenarnya juga tidak anti hisab. NU, misalnya, memiliki segudang ulama ahli Falaq. Hanya saja, bagi para pakar Falaq di NU, hisab adalah alat bantu semata. Produk hisab bukan sesuatu yang final, hanya perkiraan yang harus dibuktikan di lapangan. Walaupun menurut hitungan sudah masuk tanggal, tetapi bila di lapangan bulan tak terlihat oleh mata maka bulan wajib digenapkan.

Dari aspek metode penetapan tanggal yang demikian, kita sebenarnya sudah bertahun-tahun mengupayakan titik temu, menyelenggarakan berbagai seminar, tetapi tetap saja penyatuan lebaran tak bisa dicapai.

Saya justru “optimistis” bahwa penyatuan metode Fiqhiyyah tak akan bisa menyatukan lebaran. Tahun ini, misalnya, PBNU dan PWNU Jawa Timur memutuskan hari raya yang berbeda. Padahal keduanya adalah NU dan keduanya penganut mazhab ru’yah. Tetapi toh perbedaan hari raya masih terjadi juga.

Menyikapi dan (lalu) menghilangkan perbedaan

Kita bersyukur sebenarnya bahwa umat Islam sudah semakin dewasa dalam menyikapi perbedaan ini. Sikap toleran itu adalah modal berbarharga untuk menuju ke tahap selanjutnya: menyatukan perbedaan.

Dengan sikap toleran berarti kita mengakui bahwa ada peluang kebenaran Fiqhiyyah di luar yang kita anut, dan bahwa mereka yang berbeda juga akan memperoleh pahala setimpal dengan hasil ijtihadnya. Dalam bahasa Imam Syafi’i, “Pendapat kita benar, dan mengandung kekeliruan. Pendapat mereka salah, tetapi mengandung kebenaran.”

Jika kita sudah bisa bersikap demikian, maka kita yang kita perlukan untuk menyatukan lebaran adalah bergerak melampuai “Fiqh metodologis” ke “Fiqh praktis”. Qiyas (analogi)nya adalah seperti melampui perbedaan fiqhiyyah dalam tata cara shalat yang dianut orang perorang untuk mengikuti sepenuhnya cara shalat yang dilakukan oleh imam.

Seperti kita maklumi, dalam shalat, umat Islam menganut berbagai tata-cara yang tidak seragam. Misalnya, yang satu membaca qunut dan yang lain tidak; yang satu membaca basmallah sebelum ayat, dan yang lain tidak. Tetapi, walaupun berbeda-beda fiqh yang dianutnya, ketika ia berjamaah, seorang makmum wajib mengikuti imamnya.

Walaupun si makmum meyakini sunnahnya membaca doa qunut waktu subuh, tetapi bila imamnya tidak membaca qunut ia wajib meninggalkan qunut. Demikian pula sebaliknya. Sholatnya tetap saha dan si makmum tak perlu mengulangi shalat dengan carnya sendiri.

Kono inilah yang dulu dilakukan para ulama mazhab ketika mereka berkunjung kepada ulama mazhab lain. Si tuan rumah mempersilakan si tamu menjadi imam dan si tamu memimpin shalat sesuai dengan cara yang dianut oleh mazhab tuan rumah. Indah sekali.

Nah, mengapa hal demikian tidak kita praktikan dalam menentukan lebaran? Kita sebenarnya bisa secara bergiliran menjadi “imam” dalam menentukan awal lebaran. Bila kita mau berbesar hati, tahun ini ulama ahli hisab bisa mempersilakan ahli ru’yah untuk menentukan awal lebaran. Tahun depan, giliran ahli hisab yang menjadi “imam”, tanpa perlu khawatir bahwa sebagai makmum kita masih berhutang puasa satu hari atau puasa pada hari haram. Indah juga bukan?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama