Teokrasi Amerika?

Dalam Resonansi 5 Oktober lalu, Azyumardi Azra menyepakati dan, karena itu, 'meresonansikan' sepenuhnya tesis 'gejala kebangkitan teokrasi Amerika'. Tesis ini diajukan oleh Kevin Phillips dalam bukunya American Theocracy: The Peril and Politics of Radical Religion, Oil, and Borrowed Money in the 21st Century. Philip memang mengajukan tesis menarik atas negara yang kini mengklaim diri sebagai paling demokratis itu.

Hanya, terlebih dahulu, untuk mengikuti alur argumen buku itu maupun kesetujuan Azyumardi, kita perlu sepakat bahwa teokrasi dalam konteks pembicaraan ini adalah bukan teokrasi dalam arti sesungguhnya. Teokrasi di sini sekadar metafor tentang pengaruh agama yang sedemikian kuat dalam kehidupan 'demokrasi' Amerika, bukan persenyawaan antara teokrasi dan demokrasi dalam konsep teodemokrasi yang diusung oleh Abu Al Maududi.

Nah, benarkah teokrasi, dalam pengertian di atas, adalah gejala baru di Amerika? Berbeda dengan tesis kedua intelektual itu, menurut hemat saya, pengaruh agama dalam politik Amerika adalah bukan hal yang baru.

Agama dan politik
Ada pepatah politik yang popular di kalangan ilmuwan dalam membandingkan Amerika dengan Eropa. Eropa membuat negara-bangsa untuk melindungi diri dari agama. Orang Amerika, sebaliknya, mendirikan negara-bangsa untuk melindungi agama. Artinya, negara Eropa adalah anti-tesis gereja, sementara orang Amerika dahulu lari dari persekusi-gereja Eropa untuk menciptakan negara yang bisa melindungi kebebasan setiap orang dalam beragama. Jadi, tesis sekularisasi Amerika sejak awal memang tidak anti-agama.

Untuk mendukung tesisnya, buku yang dibedah Azyumardi, mengajukan argumen berikut: adanya presiden yang meyakini bahwa ia berbicara dan bertindak atas nama Tuhan; partai berkuasa menjadi kepanjangan tangan komunitas beragama; dan Gedung Putih mengambil kebijakan domestik serta luar negeri atas motivasi-motivasi keagamaan dan pandangan dunia biblical. Mari kita lihat sejarah Amerika untuk menguji argumen ini.

Pertama, kebanyakan presiden Amerika menggunakan bahasa agama sebagai bahasa vernacular(bahasa asli) rakyatnya. Jika Presiden Bush sekarang sering menggunakan bahasa-bahasa agama, ia bukanlah orang pertama. Kalau kita berkunjung ke memorial Presiden Jefferson di Washington DC, misalnya, kita akan merasakan betapa religiusnya pernyataan-pernyataan yang dipahatkan di dindingnya.

Dalam konteks bertindak atas nama Tuhan, tentu saja Bush tak sebanding dengan Woodrow Wilson di era Perang Dunia I yang setelah memenangkan perang itu meyakini dirinya sebagai sebagai Almasih bagi Eropa. Bagi kritikusnya, ia dianggap mengidap a Messiah complex. Tapi bagi pendukungnya itu hal yang tak berlebihan. Seorang wanita di Paris bahkan mengirimkan surat berbunyi, "Wilson! Wilson! Glory to you, who, like Jesus, have said: Peace on Earth and Good Will to Men."

Kebijakan luar negeri Amerika yang biblical juga bukan hal baru. Perang internasional pertama yang melibatkan negeri Paman Sam, Perang Amerika-Spanyol, disambut para pendukungnya sebagai 'awal kemenangan Tuhan'. Sementara mengomentari kemengannya di Filipina, Komodor Geroge Dewey berkata, "Andai aku orang yang saleh, aku harap demikian, aku tentu mengatakan bahwa tangan Tuhan bersama kami."

Kebijakan luar negeri Woodrow Wilson yang sangat idealis juga sering disebut dengan istilah religius: missionary diplomacy. Sementara Istilah crusade for democracy dalam buku-buku politik di Amerika juga seakrab istilah jihad di kalangan Muslim dalam mendeskripsikan perjuangan mereka di jalan Tuhan. Dan lobi yang paling kuat, seperti sudah banyak dimaklumi, juga lobi kelompok agama: lobi Yahudi.

Ringkas kata, pengaruh agama dalam kehidupan politik di Amerika bukan gejala baru dan tidak pula akan berkembang sejauh yang ditesiskan buku itu. Azyumardi sendiri menyebutkan bahwa ia sudah pernah membaca gejala itu sejak dua puluh tahun lalu. Nah, dua puluh tahun sudah dan 'gejala' itu tetap menjadi 'gejala' dan tidak menunjukkan peningkatan berarti.

Seperti Azyumardi, selama saya tinggal Amerika, saya juga sempat cemas oleh pengaruh kaum Kristen fundamentalis semisal Pat Robertson yang pernah mencalonkan diri, tetapi gagal, sebagai presiden lewat Partai Republik di tahun 1988. Tetapi kecemasan saya itu, kata seorang teman Muslim Amerika, tak beralasan. Menurutnya, pengaruh kelompok fundamentalis Kristen itu mengalami pasang-surut, tergantung siapa yang menjadi presiden Amerika. Pada masa Reagan, suara mereka pernah lantang, lalu tenggelam saat Bill Clinton, dan kini nyaring lagi karena didengar oleh Bush.

Contoh bagi Indonesia?
Melihat model interaksi agama dan politik di Amerika, umat Islam di Indonesia yang ingin aspirasinya didengar di ruang publik mungkin tertarik untuk melihatnya sebagai model yang lebih cocok ditiru oleh Indonesia daripada model demokrasi sekuler Eropa. Berbeda dengan sekularisasi Prancis, misalnya, yang tidak memberikan sama sekali ruang publik bagi agama, Amerika memberikan ruang itu dalam kerangka kebebasan berekspresi. Agama, di Amerika, setara dengan ideologi lain: tidak dikucilkan dari ruang publik yang menjadi milik ekslusif ideologi sekuler.

Hanya, sisi buruknya, umat Islam harus sadar bahwa model Amerika ini pula yang membuat kebijakan luar negerinya mereka 'benci'. Akibat pengaruh agama di ruang publik itulah yang, misalnya, dalam kasus Perang Israel-Lebanon membuat Bush (didukung penuh oleh fundamentalis Kristen Amerika) berpihak secara membabi-buta kepada Israel. Sebaliknya Prancis, yang model sekularisasinya tak menarik bagi umat Islam, justru mengambil kebijakan luar negeri yang menguntungkan Lebanon. Nah, mana yang lebih baik?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama