Paradigma Fikih Sosial


Judul Buku: Paradigma Fikih Sosial: Dari Otoritas ke Solidaritas 
Penulis: Arif Maftuhin
Cetakan Pertama: Agustus 2025 xiv + 246 hlm; 14 x 21 cm
ISBN: 978-623-89482-4-6
Pembelian: Penerbit Gading https://wa.me/+6281390626266

***

Paradigma Fikih Sosial: Dari Otoritas ke Solidaritas adalah suara baru dalam khazanah hukum Islam yang menggugat klaim netralitas fikih dan membuka jalan menuju keberpihakan sebagai komitmen moral. Dalam buku ini, Arif Maftuhin mengajak pembaca untuk membongkar struktur otoritas yang menyingkirkan suara korban—perempuan, difabel, kaum miskin, dan kelompok marjinal lainnya—dari ruang ijtihad fikih. Ia menunjukkan bahwa fikih tidak pernah steril dari kuasa, dan bahwa keadilan tidak akan hadir tanpa keberanian epistemik untuk membaca ulang hukum dari bawah, bukan dari menara otoritas.

Dengan pendekatan kritis yang berpijak pada tradisi usul fikih sekaligus diperkaya teori sosial kontemporer, buku ini menawarkan paradigma emansipatoris: fikih yang tidak hanya patuh pada teks, tetapi juga mendengar jerit kenyataan. Ditulis dengan semangat pembebasan, Paradigma Fikih Sosial adalah bacaan penting bagi siapa pun yang percaya bahwa hukum Islam semestinya menjadi jalan menuju keadilan, bukan alat pelanggeng ketimpangan.

***

Buku ini ditulis karena kewajiban. Pertama, kewajiban saya mengajar mata kuliah Fikih Sosial di Prodi PMI dan Prodi IKS UIN Sunan Kalijaga . karena Fikih Sosial bukan sebuah disiplin ilmu "resmi" yang ada dalam tradisi Fikih, maka saya pun harus mengumpulkan bahan dari berbagai sumber. 

Sumber utamanya ada tiga: Kiai Sahal Mahfud, Kiai Ali Yafie, dan Jasser Audah. Dua nama pertama sudah dikenal dan terkenal dengan buku-buku berjudul Fikih Sosial. Nama ketiga saya gunakan sebagai rujukan paradigmatiknya. Selama bertahun-tahun, saya "berputar-putar" mengajar Fikih Sosial dengan definisi, contoh, dan paradigma mereka.

Kedua, kewajiban untuk "melanjutkan" apa yang sudah mereka rintis. Dalam hemat saya, pendekatan maqasid dan maslahah yang menjadi pondasi bagi gagasan mereka bertiga ini bermasalah. Selagi maqasid itu diklaim sebagai "maksud Tuhan", tetapi cara memahami Tuhannya sangat "elitis". Maksud Tuhan didefinisikan oleh ilmu, pengetahuan, dan pengalaman elitis para mujatahid/ulama. Ini membuat maqasid/maslahah menjadi "tumpul" dalam menghadapi kenyataan.

Maka, saya usulkan untuk menggeser sudut pandang elitis ini: menggeser otoritas dari para mujtahid kepada para "korban". Contoh kongkrit: bukan PBNU yang berhak mengatakan maslahah atau tidaknya proyek tambang, tetapi masyarakat setempat yang terdampak! Ini yang saya sebut dari "otoritas" ke "solidaritas"


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama