Beberapa hari yang lalu, saya melihat sebuah unggahan tentang ujian skripsi di fakultas sebelah. Salah satu dosen hadir sebagai penguji sambil membawa bayi enam bulan. Kehadiran bayi mungil yang lucu itu memancing salah satu penguji untuk membuat lelucon: “penguji termuda sejagat raya.”
Lelucon itu dianggap tepat, dan ia mungkin mengambilnya sebagai kisah inspiratif tentang dosen muda yang sukses membagi peran antara mendidik dan mengasuh. Tetapi saya koq tidak.
Saya tidak tahu mengapa bayi itu bisa hadir di ruang ujian. Saya tidak tahu apakah ibunya sedang bekerja, sakit, apakah tidak ada pengasuh, atau apakah memang keputusan itu diambil sebagai bentuk kompromi antara kerja dan keluarga. Saya tidak ingin menduga-duga. Motif pribadi di luar jangkauan saya.
Saya hanya akan menilai sebatas fakta tindakan yang tampak di ruang publik, karena di ruang itulah yang bisa kita akses bersama, bisa diuji secara etis, dan harus dijaga secara wajar. Kaidah Fikih nya, nahnu nahkumu bi al-zawahir.
Ujian skripsi merupakan forum akademik resmi. Durasi pelaksanaannya hanya satu hingga dua jam. Forum yang singkat seperti ini seharusnya sah menuntut fokus penuh dan penghormatan terhadap simbol ruang akademik.
Kita tahu bahwa bagi dosen, ujian skripsi mungkin hanya satu dari sekian banyak rutinitas akademik. Tetapi bagi mahasiswa, ujian itu adalah momen penting—bahkan mungkin satu-satunya momen penting dalam keseluruhan pengalaman kuliahnya.
Ia mempersiapkan diri dengan gugup, berulang kali merevisi, deg-degan menunggu jadwal, dan berharap bisa tampil maksimal. Ketika ia akhirnya masuk ke ruang itu, yang ia bayangkan adalah ruang formal, serius, dan fokus. Maka kehadiran bayi—betapapun lucu dan menggemaskan—adalah distraksi. Kehadiran bayi mengubah aura ruang itu dari ujian intelektual menjadi panggung “dosen muda inspiratif.”
Mungkin Anda membela tindakan tersebut atas nama empati. Boleh saja Anda menganggap itu manusiawi, fleksibel, dan tetap dalam batas wajar. Toh dosennya tetap hadir, tetap menguji, dan tidak meninggalkan tugasnya. Namun, argumen itu memperlihatkan betapa rendahnya standar etika profesional yang kita normalisasi.
Bayangkan sebuah acara pengukuhan guru besar. Seorang dosen akan membacakan orasi ilmiah yang disaksikan oleh senat, kolega, dan seluruh keluarganya yang datang jauh-jauh dari luar kota. Jika ketua senat tiba-tiba datang sambil menggendong cucunya, mungkinkah itu disebut tindakan mengharukan? Rasanya tidak. Malah bisa jadi dianggap mencederai marwah acara. Ketika momen yang penting bagi dosen mendapat perlakuan khusus, maka momen penting bagi mahasiswa seharusnya mendapat perlakuan yang setara.
Si bayi tentu tidak bersalah. Ia tidak pernah mendaftar sebagai penguji. Ia hadir pun tanpa tahu mengapa ia ada di sana. Persoalannya bukan pada si bayi, melainkan pada praktik glorifikasi yang mengaburkan batas ruang. Ruang akademik tidak harus kaku, tetapi tetap harus punya standar etis. Ketika standar itu hilang, maka batas antara profesional dan personal menjadi kabur. Jika suatu saat penguji datang sambil membawa kompor dan memutuskan untuk membuat kopi di sela-sela tanya jawab, akankah itu juga dianggap sebagai bentuk “kemanusiaan”?
Ujian skripsi bukan ajang keluarga. Forum ini tidak dimaksudkan sebagai panggung untuk menunjukkan betapa hebatnya seorang ayah multitasking. Meskipun suasananya boleh santai, forum ini tetaplah ruang untuk menguji argumentasi, bukan untuk menguji ketahanan popok bayi. Empati tetap penting, tetapi harus ditempatkan secara tepat. Tidak semua yang personal dapat dibawa masuk ke ruang bersama. Profesionalisme bukanlah lawan dari kemanusiaan. Justru karena menghargai manusia, maka kita menjaga forum publik agar tidak menjadi perpanjangan urusan domestik.
Bagaimana? Saya mau koq dititipi dan momong si bayi barang satu dua jam agar Anda bisa fokus menghargai momen si mahasiswa yang seumur hidup sekali diuji skripsi.
Posting Komentar