Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa salah satu terobosan penting dalam gerakan disabilitas berbasis Islam di Indonesia tidak mungkin terjadi tanpa peran diam-diam Mas Imam Aziz. Saya perlu memberikan catatan penting ini agar sejarah tak melupakannya.
Sekitar tahun 2016, ketika gerakan aksesibilitas rumah
ibadah sedang tumbuh dari komunitas difabel di Yogyakarta, Pak Setia—tokoh
gerakan difabel senior di Jogja—berinisiatif mengajak tokoh-tokoh lintas agama
untuk mendorong perubahan. Beliau datang ke gereja, berkunjung ke pura, bicara
tentang hak-hak mereka. Bukan lewat demonstrasi atau tekanan media, melainkan
lewat cara yang lebih dalam dan khas: dekonstruksi nalar agama.
Kepada NU, aspirasi ini disampaikan Pak Setia kepada Kiai Imam
Aziz, yang saat itu menjadi salah satu ketua PBNU. Mas Imam tidak memberikan
jawaban panjang. Beliau juga tidak membuat janji yang muluk-muluk. Tetapi dari
pertemuan itu, satu hal penting terjadi: beliau segera menugaskan Lembaga
Bahtsul Masail NU untuk memulai kajian tentang disabilitas.
Bagi NU, ini bukan perkara kecil. Disabilitas bukan isu
rutin dalam khazanah fiqih klasik. Tidak ada entri khusus dalam kutub
al-turats yang bisa langsung dirujuk. Tetapi justru karena itu, keberanian
Mas Imam untuk membuka pintu kajian ini menjadi langkah penting. beliau tidak
menunggu konsensus. Beliau juga tidak menunggu isu ini “populer” lebih dulu.
beliau hanya butuh mendengar, memahami, dan lalu bergerak.
Dari dukungannya itu, lahirlah proses panjang yang kemudian
menghasilkan Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, fatwa kolektif NU
yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah subjek hukum penuh,
memiliki hak-hak ibadah, hak partisipasi sosial, dan—yang paling penting—hak
untuk diakomodasi secara struktural. Negara wajib hadir. Masjid wajib ramah.
Ulama wajib peduli.
Saya masih ingat jalannya Munas Alim Ulama NU tahun 2017 di
Lombok, tempat fatwa ini dibahas dan disahkan. Di antara tumpukan isu-isu besar
seperti tanah dan ujaran kebencian, isu disabilitas diselipkan, didiskusikan,
dan disepakati—tanpa banyak polemik. Ini bukan karena materinya ringan, tetapi
karena fondasinya kokoh. Dan salah satu fondasi itu bernama Kiai Imam Aziz.
Perannya mungkin tidak tercatat di halaman depan. Ia bukan
penyusun utama. Ia tidak tampil di konferensi pers. Tetapi tanpa restu,
dorongan, dan gerakan sunyinya, fatwa ini mungkin tidak akan pernah lahir.
Karena itu, bagi kami yang berkecimpung dalam advokasi dan promosi
hak-hak penyandang disabilitas berbasis keislaman, Mas Imam bukan sekadar kiai.
Beliau adalah kiai inklusi, pembuka jalan bagi fatwa yang memanusiakan mereka yang selama ini dilihat sebelah mata. Tanpa banyak kata, beliau mengubah cara
pandang kita terhadap siapa yang pantas berada di saf depan.
Bagi saya pribadi, kalau disebut nama Mas Imam, yang muncul
terkuat dalam memori saya adalah tahun 1998. Seminggu sekali kami bertemu untuk
belajar Islam dan demokrasi. Nama forumnya "Belajar Bersama", tetapi
tentu saja kami yang belajar kepada Mas Imam, guru tunggal di kelas itu.
Mas Imam bukan tipe guru yang menggurui. Di ruang sempit
lantai dua kontrakan LKiS di Gambiran UH itu, kami duduk di kursi lipat yang
ditata melingkar. Mas Imam duduk di dekat papan tulis. Beliau mengantar diskusi
dengan pertanyaan pemantik. Sesekali saja beliau berdiri dari kursi untuk
membuat penjelasan atau gambar.
Seingat saya, pesertanya tidak lebih dari sepuluh orang.
Salah satu yang sekelas dengan saya dan cukup aktif untuk diskusi adalah Yai
Ulun Nuha. Tentu saja kami berdebat dan Mas Imam akan dengan baik menjadi
pengarah.
Saat lulus S1 di Solo dan harus memutuskan kuliah S2 di
mana, saya memilih Jogja semata-mata karena program ini. UIN Sunan Kalijaga
bukan alasan, tetapi Mas Imam Aziz lah magnetnya. Untuk mahasiswa Muamalah
Jinayah, belajar Islam dan demokrasi bersama Mas Imam lebih menarik menurut
saya daripada ekonomi Islam di Sapen.
Di luar materi belajar bersama, yang tak kalah pentingnya
adalah keteladanan beliau. Dulu, saya kira, menjadi kritis dan liberal dalam
beragama itu setali tiga uang dengan meninggalkan salat dan ritual ortodoks.
Tetapi ternyata tidak.
Pernah, suatu pagi, saya mau ketemu Mas Imam, harus menunggu
dulu karena beliau sedang salat duha dengan wirid yang lama. "Wah,
liberal ki sih salat sunat barang tho," pikir saya. Mungkin ini contoh
yang sepele, tetapi bagi orang yang sedang mencari jati diri seperti saya waktu
itu, keteladanan Mas Imam adalah mercusuarnya.
Pinaringan sabar nggih Mbak Nyai Rindang Farihah.
Posting Komentar