Paradoks Pujian


Beberapa waktu lalu saya menerima email dari kolega luar negeri yang sedang bekerja sama menulis artikel bersama untuk sebuah simposium internasional di Amerika. Kami berdiskusi tentang teks-teks klasik dalam tradisi hukum Islam yang akan kami jadikan bahan komprasi, dan saya mengirimkan beberapa catatan hasil pembacaan saya terhadap dua kitab tertua yang relevan dengan topik simposium: al-Makhārij fī al-Ḥiyal dan Kitāb al-Ḥiyal.

Seperti biasa, tanggapan yang saya terima cukup panjang dan berbobot. Tetapi, ada satu pernyataan yang membuat saya sempat termangu, “... I’m continually amazed by your scholarly breadth. I wish I had learned how to read those texts.”

Saya membaca ulang kalimat itu. Mungkin karena merasa tersanjung, tetapi juga karena saya bingung. Kalimat semacam itu jarang sekali saya dapatkan di Indonesia. Bahkan dalam konteks Amerika pun saya cenderung curiga: apakah ini tulus? Sebab, orang Amerika, ketika bertanya "How are you today?" sering kali tidak benar-benar ingin tahu keadaan kita. Full basa dan basi!

Keraguan itu agak luntur ketika saya mendengar pujian serupa juga ia sampaikan kepada orang lain. Sebab, apa yang dikatakan kepada saya, juga dikatakannya kepada orang lain di belakang saya. Ketua konferensi, ketika mengirim email undangan, mengulangi pujian itu, “Saya senang sekali bisa kenalan dengan Anda dan semoga bisa segera ketemu. Pak Fulan memuji Anda setinggi langit.”

Jadi, setidaknya, saya tak perlu curiga dengan pujian itu sebagai basa-basi.

Nah, ini agak berbeda dengan kultur kita di sini. Kita jarang sekali memuji rekan kerja kita. Bahkan saya tidak yakin kita punya kosakata yang cukup untuk memuji tanpa terdengar menjilat. Sebab, kalaupun ada, saya malah menyebutnya sebagai budaya "pujian kacangan", terutama di media sosial akademik. 

Ketika ada teman kita membagikan tautan artikelnya yang baru terbit, maka respons yang segera muncul adalah: “Mantabek!”, “Keren, Pak!”, “Luar biasa seperti biasa!”, “Panutan!” tanpa kita peduli apakah tulisannya itu benar-benar layak dipuji atau tidak, tuntunan atau tontonan.

Padahal, kalau kita mau jujur, tidak semua artikel layak diberi sambutan seperti itu. Banyak artikel ditulis hanya demi kewajiban administratif, dengan substansi dangkal, atau hasil kerja kroyokan dengan "mengerjai" orang lain atau mahasiswa di kelasnya. Jurnal tempatnya terbit bisa jadi predator, atau jurnal berbayar mahal tetapi tidak bereputasi. Atau terindeks Scopus tetapi sudah menjadi peternakan artikel (sekali terbit, seratus artikel) dengan APC yang menguras dompet.

Jadi, ada paradoks di sini: pujian yang tulus jadi langka, tetapi pujian palsu jadi kebiasaan. Yang pertama membutuhkan penilaian dan kejujuran; yang kedua cukup dibayar dengan rasa sungkan dan norma sosial.

Saya kira ini tidak bisa dilepaskan dari kultur akademik kita yang semakin "toksik." Kita hidup di ekosistem yang lebih sibuk mengejar angka daripada kualitas, lebih mementingkan gelar daripada isi kepala, lebih peduli akreditasi daripada integritas, dan lebih senang tampil sebagai “pakar” daripada benar-benar menjadi pembelajar.

Di ruang-ruang seperti itu, pujian yang jujur sulit ditemukan. Bukan karena tidak ada yang layak dipuji, tetapi karena kita tidak terbiasa menghargai kerja keras yang senyap, ketekunan yang konsisten, atau tulisan yang jernih dan terukur.

Saya sendiri bukan orang yang mudah memuji. Tetapi ketika saya memuji, saya biasanya benar-benar memuji. Ada alasan yang kuat mengapa perlu dipuji. Seperti suatu kali ketika saya membaca tulisan-tulisan seorang peneliti dari Solo yang berbobot, fokus, dan tidak ikut arus. Dari tulisannya saya tahu: ini orang yang benar-benar berpikir dan bermutu. 

Nah, ketika akhirnya bertemu dengannya, saya tak ragu memujinya, “Sampeyan ini orang langka Pak. Jarang saya ketemu pengkaji topik ini yang menulis dengan temuan-temuan baru yang bermanfaat.” Wajahnya terkejut, agak kikuk. Tetapi saya bisa melihat bagaimana senangnya dia dengan pujian itu.

Mungkin kita perlu mulai membiasakan kembali memberi pujian yang adil. Tidak untuk semua orang. Tidak untuk semua hal. Tapi untuk mereka yang layak. Ketika kita menemukan mereka—orang-orang yang bekerja dalam diam, berpikir dalam, dan menulis dengan hati—jangan biarkan mereka berjalan sendirian dalam kebisuan. Puji, hargai, dan kancani!

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama