Hafal Qur'an Tetapi ...


Beberapa hari ini saya bertemu dengan para penghafal al-Qur'an dari berbagai pelosok negeri. Mulai dari yang hafal 5 sampai 30 juz. Dari perjumpaan dan dialog dengan mereka, beberapa hal penting saya catat.

Pertama, kalau ukurannya jumlah, sepertinya kita tidak akan pernah kehabisan stok penghafal al-Qur'an. Jumlah pesantren tahfizh, atau pesantren umum dengan takhassus tahfizh sangat banyak. Jumlah orang yang berminat menghafal al-Qur'an juga tak pernah surut. Mereka pun datang dari berbagai aliran: mulai dari orang NU yang ingin mendapatkan tiket gratis ke surga maupun kalangan Salafi yang menjadikannya sebagai bagian dari gerakan pemurnian.

Kedua, selagi jumlahnya tak mengkhawatirkan, kualitasnya bikin geleng kepala. Dari belasan lulusan sekolah menengah atas yang saya wawancarai, sedikit sekali yang hafalannya benar-benar bagus (mutqin, istilah mereka). Jadi, sering kali hafalannya hanya sebatas jumlah dan sertifikat. Sertifikatnya menyatakan 15 juz, tetapi yang hafal benarnya baru 2–3 juz, misalnya.

Ketiga, mayoritas yang saya wawancarai, bisa jadi delapan dari sepuluh, tidak memahami apa yang mereka hafalkan. Bahkan, kadang hanya untuk menerjemahkan surat-surat pendek pun mereka tidak bisa, kamatsali al-himar yahmilu asfara!


Saya bukan peneliti al-Qur'an, jadi saya tidak tahu persis apa yang terjadi di lapangan secara akurat. Tetapi dalam wawancara itu saya memang menanyakan ke mereka mengapa mereka tidak paham artinya. Jawaban paling umumnya adalah: "Kan kami hanya takhassus menghafal al-Qur'an, Pak." Atau, "Di pondok kami, yang ingin belajar bahasa Arab ya ambil takhassusnya Nahwu."

Jadi, sejauh yang saya wawancarai itu, sepertinya tidak ada pesantren yang peduli untuk mengaitkan antara menghafal al-Qur'an itu dengan penguasaan maknanya. Kepada salah satu santri saya tanyakan, "Kamu tahu nggak salawat tombo ati?" Ia menjawab, "Tahu, Pak."

Saya minta ia menyanyikan salawat itu, kemudian saya tanyakan, "Kamu 'tersinggung' nggak dengan obat pertama yang disebutkan di syair itu?" Dengan polos ia menjawab, "Nggak Pak, maksudnya gimana?"

Saya jelaskan, "Kan di situ dikatakan, moco qur'an angen-angen sak maknane... Sementara kamu, menghafalkan al-Qur'an tanpa peduli maknanya."


Saya sebenarnya tidak berharap yang muluk-muluk sih. Kalau urusan prioritas (takhassus) membuat mereka hanya bisa fokus ke salah satu ilmu (hafalan Qur'an), setidaknya akan tetap penting untuk diselingi ilmu lain yang relevan.

Misalnya ya, tidak harus belajar nahwu secara mendalam tetapi cukup diadakan bandongan Tafsir Jalalain sehari sekali. Jadi, bukan seperti yang sekarang dilakukan: pagi, siang, sore, malam, hanya hafalan Qur'an. Sekali saja diselingi ngaji Jalalain.

Dengan membuat mereka "pernah mendengar" kiai memaknai ayat-ayat yang mereka hafalkan, mereka tidak akan se-asing sekarang terhadap makna al-Qur'an. Mungkin Anda yang akrab dengan dunia tahfizh punya penjelasan dan pendapat lain?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama