DNA Linearitas


Saya termasuk orang yang nggak menganut mazhab "linearitas", karena saya percaya bahwa sebuah ilmu akan lebih baik kalau bersentuhan, menyapa, dan berdialog dengan ilmu lain. Di buku 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑑𝑔𝑖𝑚𝑎 𝐹𝑖𝑘𝑖ℎ 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙, pandangan itu bahkan saya rumuskan sebagai paradigma keempat.
Saya pun kuliah juga nggak terlalu linear amat. Ketika S1, saya kuliah Muamalah Jinayah dengan menulis skripsi tentang politik (siyasah) Islam. Ketika S2, saya ambil muamalah dengan konsentrasi ekonomi Islam. Sementara saat S2 di Amerika, saya ambil hubungan internasional. Saat S3, "terpaksa" ambil sejarah Islam karena beasiswanya memang demikian.
Tetapi, "DNA" saya rupanya linear dan itu tampak dari buku 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑑𝑔𝑖𝑚𝑎 𝐹𝑖𝑘𝑖ℎ 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙!
Secara eksplisit, saya hanya menyebut skripsi saya yang mempengaruhi buku ini (Bab 7). Tetapi, setelah saya renungkan dalam-dalam, ternyata tidak!
Skripsi itu mempunyai semangat yang sama dengan 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑑𝑔𝑖𝑚𝑎 𝐹𝑖𝑘𝑖ℎ 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 dalam menggugat kepatuhan terhadap hegemoni dan kekuasaan. Saya ini suka menggugat kemapanan, dulu saya gugat kepatuhan terhadap penguasa, di buku ini hegemoni elit fuqaha.
Hanya saja, paradigma kritisnya dibangun ketika saya menulis tesis. Saya ambil ilmunya dari kelas "kritik wacana" yang diampu Mas Yai Muhammad Jadul Maula di LKIS. Di buku 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑑𝑔𝑖𝑚𝑎 𝐹𝑖𝑘𝑖ℎ 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙, bekas jelasnya muncul pada kritik saya terhadap tafsir riba (h. 80), yang bersumber dari tesis S2.
Kalau Anda temui saya banyak bicara tentang sejarah Fikih di buku itu, maka kritik terhadap minimnya bobot historis dalam wacana Fikih bersumber dari poin-poin disertasi S3 saya: kritik historiografi Fikih!
Saya sama sekali tidak menduga "kebetulan linearitas" seperti ini bisa muncul di buku terbaru saya ini. Tampaknya, DNA-nya memang begitu😊

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama