Beberapa waktu lalu, saya mengirim sebuah artikel ke sebuah jurnal terindeks Scopus. Prosesnya cukup panjang—sudah melewati tiga kali revisi (satu dari editor, dua dari reviewer yang berbeda), dan saya mengikuti setiap saran editor dan reviewer dengan serius. Saya perbaiki bagian-bagian yang dikritik, saya tambahkan data, saya rapikan narasi, semua agar tulisan saya bisa sampai pada versi yang diinginkan para reviewer dan editor. Saya tahu persis: sebagai penulis hanya ada satu kata untuk menghadapi reviewer: pasrah! Walaupun masukannya kadang menjauh dari draft kita. Saya masih bisa terima.
Namun setelah semua proses revisi tiga kali itu, saya merasa ada yang aneh di putaran empat. Berbeda dengan review sebelumnya, yang saya terima ini diawali dengan kalimat khas "Inggris-Indonesia," tetapi alinea-alinea selanjutnya terasa native, rapi, halus, dan seolah-olah serba tahu. Bahasa Inggrisnya sempurna! Lancar, penuh istilah teknis, dan terdengar akademik.
Saya tahu, siapa yang menulis seperti ini: ChatGPT atau saudaranya. Sebagai sesama pengguna, saya sama sekali tidak keberatan: wong saya juga banyak meminta bantuan ChatGPT. Akan tetapi, ketika saya baca dengan lebih saksama, komentar-komentar itu terasa tidak nyambung dengan isi tulisan saya. Khas produksi ChatGPT ketika kita salah prompt: terdengar ilmiah tetapi ngawur!
Salah satu komentar, misalnya, menyarankan agar saya membahas aspek usul dan kaidah Fikih. Bagi saya, ini komentar yang aneh untuk tahap review lanjutan. Kenapa baru sekarang? Kemarin-kemarin ngapain? Artikel saya itu berbasis penelitian lapangan. Saya melakukan observasi, wawancara, dan analisis putusan para hakim. Saya tidak menulis artikel tentang ijtihad, tentang ushul fikih. Mengapa tiba-tiba saya diminta menjelaskan usul fiqh dalam artikel seperti ini di revisi keempat!
"Reviewer GPT" juga meminta saya untuk membuktikan sebuah pernyataan yang sebenarnya saya bahas panjang lebar di 2-3 alinea sesudah yang dikomentari si "Reviewer GPT". Seperti biasa, ChatGPT kadang gagal memangkap maksud ketika dia sedang halu! Ada dua permintaan lagi yang diminta si Reviewer GPT untuk saya penuhi dan membuat saya jengkel luar biasa.
Dua minggu saya renungkan, bagaimana sebaiknya merespon praktik editorial tidak bertanggungjawab seperti ini. Saya tidak ingin merusak pertemanan, jaringan akdemik, dan kepercayaan. Sebagai sesama akademisi, saya sangat menghormati kerja-kerja editor. Tetapi saya pikir saya juga tidak mungkin melajutkan proses publikasi. Saya sering dibuat frustasi oleh ChatGpt. Bedanya, saat menggunakan saya bisa langusng mengumpat-umpat menyalahkan sampai dia minta maaf dan memperbaiki kinerjanya. Nah, kalau yang ini kan nggak bisa: mau saya umpat-umpat yang saya hadapi reviewer/editor. Tidak saya umpat, saya tahu persis bahwa yang saya hadapi di baliknya adalah ChatGPT. Frustasinya sama, solusinya yang nggak bisa sama!
Akhirnya, saya putuskan untuk menarik artikel itu. Bukan karena saya tidak mau merevisi. Bukan karena saya merasa tulisan saya sudah sempurna. Tetapi karena saya merasa bahwa proses ini sudah tidak lagi dijalankan secara profesional. Tentu saja saya dan juga para editor dan reviewer rugi waktu, tenaga, dan pikiran. Tetapi saya merasa tidak sedang berhadapan dengan editor atau reviewer yang bisa dipercaya, tetapi dengan sistem yang melepaskan tanggung jawab kepada mesin.
Kita boleh koq menggunakan AI. Saya pun sering menggunakan dalam kerja-kerja akademik saya—sebagai alat bantu, bukan pengganti kerja pikir dan moral. Namun dalam proses akademik seperti ini, editor harus tetap hadir sebagai manusia yang membaca, menimbang, dan bertanggung jawab atas arah yang dituju sebuah naskah. Jika AI dipakai sepenuhnya tanpa penyaringan, tanpa cek ulang dan ulang, maka bukan hanya kualitas yang turun, tetapi juga memunculkan ketidakpercayaan dari penulis.
Publikasi ilmiah itu bukan hanya tentang argumen yang kuat dan bahasa yang canggih, tetapi juga soal kepercayaan—antara penulis, reviewer, dan editor. Jika kepercayaan itu hilang, maka relasi ilmiah yang sehat pun ikut hancur. Wallahu a'lam.
Posting Komentar