Di antara syarat utama melakukan ibadah adalah harus suci
dari najis. Hal ini menjadi pengetahuan umum umat Islam. Namun kemudian
timbullah pertanyaan dari penyandang disabilitas yang membuatnya sulit untuk
beristinja' (bersuci dari buang air) dengan sempurna.Bagaimanakah cara
penyandang disabilitas yang mengalami kesulitan untuk beristinja' secara
sempurna ini agar tetap sah untuk beribadah?
Dalam kitab fiqih diterangkan bahwa dia dapat beristinja' dengan cara meminta bantuan pasangan halalnya (suami atau istri). Namun jika tidak ada orang tersebut, maka dengan cara apapun yang memungkinkan. Kalaupun tidak sempurna sebab tidak ada pasangannya, maka ia boleh tetap melanjutkan salat sesuai pendapat dalam Mazhab Hanafi dan Maliki. Dalam Mazhab Hanafi, bila seseorang tidak mampu untuk menghilangkan najis di tubuhnya dan salat dengancara itu, maka salatnya sah dan tak perlu mengulang lagi meskipun terdapat orang lain yang dapat membantunya. Adapun dalam Mazhab Maliki, menghilangkan najis merupakan kesunnahan bukan kewajiban sehingga tidak masalah meskipun salat membawa najis, namun disarankan untuk mengulang salatnya kembali apabila sudah memungkinkan untuk bersuci secara sempurna.
Dalam kitab Rād al-Mukhtar, salah satu rujukan utama Mazhab Hanafi, disebutkan:
فِي التَّتَارُخَانِيَّة: الرَّجُلُ الْمَرِيضُ
إِذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ امْرَأَةٌ وَلَا أَمَةٌ وَلَهُ ابْنٌ أَوْ أَخٌ وَهُوَ لَا
يَقْدِرُ عَلَى الْوُضُوءِ قَالَ يُوَفِّتُهُ ابْنُهُ أَوْ أَخُوهُ غَيْرَ
الاسْتِنْجَاءِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَمَسُّ فَرْجَهُ وَيَسْقُطُ عَنْهُ وَالْمَرْأَةُ
الْمَرِيضَةُ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا زَوْجٌ وَهِيَ لَا تَقْدِرُ عَلَى
الْوُضُوءِ وَلَهَا بِنْتُ أَوْ أُخْتٌ تُوَفِّتُهَا وَيَسْقُط عَنْهَا
الاسْتِنْجَاءُ. اهـ. وَلَا يَخْفَى أَنَّ هَذَا التَّفْصِيلَ يَجْرِي فِيمَنْ
شَلَّتْ يَدَاهُ؛ لِأَنَّهُ فِي حُكْمُ الْمَرِيضِ
Dalam kitab Tatarkhaniyah disebutkan: Seorang laki-laki yang sakit yang tidak punya istri atau budak perempuan tetapi mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki sedangkan dia sendiri tidak mampu untuk wudu, maka anak dan saudaranya itu boleh membantunya berwudu tetapi tidak boleh membantunya istinja sebab mereka tidak boleh memegang kemaluannya. Istinja itu sendiri gugur kewajibannya dari lelaki tersebut. Seorang perempuan yang sakit yang tidak mempunyai suami sedang dia tidak mampu untuk berwudu tetapi dia mempunyai anak perempuan atau saudara perempuan, maka mereka boleh membantunya berwudu dan ia gugur kewajibannya untuk istinja. Dan, sudah jelas bahwa perincian ini juga berlaku bagi orang yang terpotong kedua tangannya sebab dia sama hukumnya dengan orang sakit
Dalam kitab Bughyat al-Musytarsyidīn yang beraliran
Syafi'iyyah, seperti mazhab yang diikuti oleh mayoritas muslimin Indonesia,
disebutkan keterangan sebagaimana berikut:
فائدة : يَجِبُ عَلَى الْمَرِيضِ أَنْ يُؤَدِّيَ الْصَلَوَاتِ الْخَمْسَ مَعَ كَالِ شُرُوطِهَا وَأَزْكَانِهَا وَاجْتِنَابُ مُبْطِلاتِهَا حَسْبَ قُدْرَتِهِ وَإِمْكَانِهِ ... فَإِنْ كَثُرَ ضَرَرُهُ وَاشْتَدَّ مَرَضُهُ وَخَشِيَ تَرْكَ الصَّلَاةِ رَأْساً فَلَا بَأْسَ بِتَقْلِيدِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكِ وَإِنْ فَقُدَتْ بَعْضَ الْشُرُوطِ عِنْدَنَا، وَحَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ الشيخ مُحَمَّدُ بْنُ خَاتِمٍ فِي رِسَالَتِهِ فِي صَلَاةِ الْمَرِيضِ أَنَّ مَذْهَبَ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّ الْمَرِيضَ إِذَا عَجَزَ عَنِ الْإِيْمَاءِ بِرَأْسِهِ جَازَ لَهُ تَرْكُ الصَّلَاةِ فَإِنْ شَفَي بَعْدَ مُضِي يَوْمٍ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَإِذَا عَجَزَ عَنِ الشَّرُوطِ بِنَفْسِهِ وَقَدَرَ عَلَيْهَا بِغَيْرِهِ فَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ وَهُوَ قَوْلُ الْصَاحِبِينَ لَزُوْمُ ذَلِكَ إِلَّا إِنْ لَحِقَتْهُ مَشَقَّةٌ بِفِعْلِ الْغَيْرِ أَوْ كَانَتْ النَّجَاسَةُ تَخْرُجُ مِنْهَ دَائِماً وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةُ : لَا يُفْتَرَضُ عَلَيْهِ مُطْلَقاً لِأَنَّ الْمُكَلِّفَ عِنْدَهُ لَا يُعَدُّ قَادِرًا بِقُدْرَةِ غَيْرِهِ وَعَلَيْهِ لَوْ تَيَمَّمَ الْعَاجِزُ عَنِ الْوُضُوءِ بِنَفْسِهِ أَوْ صَلَّى بِنَجَاسَةٍ أَوْ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ مَعَ وُجُودِ مَنْ يَسْتَعِينُ بِهِ وَلَمْ يَأْمُرُهُ صَحَتْ وَأَمَّا مَالِكٌ فَمُقْتَضَى مَذْهَبِهِ وُجُوبُ الْإِيمَاء بِالطَّرْفِ أَوْ بِإِجْرَاءِ الْأَرْكَانِ عَلَى الْقَلْبِ وَالْمُعْتَمَدُ مِنْ مَذْهَبِهِ أَنَّ طَهَارَةَ الْخُبُثِ مِنَ الْقَوْبِ وَالْبَدَنِ وَالِمَكَانِ سَنَةٌ فَيُعِيدُ اسْتِحْبَاباً مَنْ صَلَّى عَالِماً قَادِرًا عَلَى إِزَالَتِهَا وَمُقَابِلَةُ الْوُجُوبِ مَعَ الْعِلْمِ وَالقُدْرَةِ وَإِلَّا فَمُسْتَحَبُّ مَا دَامَ الْوَقْتُ فَقَط وَأَمَّا طَهَارَةُ الْحَدَثِ فَإِنْ تَجَزَ عَنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ لِخَوْفِ حُدُوْثِ مَرَضٌ أَوْ زِيَادَتِهِ أَوْ تَأْخِيرِ بَرَءٍ جَازَ الْتَيَمُّمُ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَكَذَا لَوْ عَدِمَ مَنْ يُنَاوَلُهُ الْمَاء وَلَوْ بِأَجْرَةٍ وَإِنْ عَجَزِ عَنِ الْمَاءِ وَالصَّعِيدِ لِعَدَمِهِمَا أَوْ عَدِمَ الْقَدْرَةَ عَلَى اسْتِعْمَالِهِمَا بِنَفْسِهِ وَغَيْرِهِ سَقَطَتْ عَنْهُ الصَّلَاةُ وَلَا قَضَاءَ اهـ.
Terjemah referensi:
Wajib bagi orang sakit untuk melakukan 5 shalat wajib
beserta seluruh syarat dan rukunnya serta menjauhi semua hal yang
membatalkannya sesuai kemampuan dan kesempatannya. Apabila banyak kesulitannya
dan sakitnya parah dan dikhawatirkan untuk meninggalkan shalat sama sekali,
maka tak mengapa baginya untuk mengikuti mazhab Abu Hanifah dan Malik meskipun
Beberapa syarat tersebut tidak sempurna menurut mazhab kita (Syafi'iyyah).
Kesimpulan dari apa yang dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin
Khatib dalam risalahnya tentang Shalatnya orang yang sakit adalah: Mazhab Abu
Hanifah menyatakan:
Apabila orang yang sakit tidak mampu untuk menggerakkan
kepalanya maka ia boleh untuk meninggalkan shalat. Apabila ia sudah sembuh
setelah melewati 1 hari maka ia tidak perlu mengganti shalat itu.
Apabila ia tidak mampu untuk menjalankan syarat-syaratnya
sendirian tetapi mampu apabila dibantu orang lain maka menurut pendapat yang
kuat dalam mazhab, dia wajib meminta bantuan tersebut kecuali apabila ia
mengalami kesulitan bila dibantu orang lain atau karena najisnya terus-menerus
keluar.
Imam Abu Hanifah berkata: "Ia tidak wajib secara mutlak
untuk meminta bantuan tersebut karena seorang mukallaf tidak bisa disebut mampu
apabila kemampuannya dengan cara dibantu orang lain. orang tersebut apabila bertayamum
sebab tidak mampu untuk berwudu sendiri atau shalat dengan najis atau shalat
tidak menghadap kiblat padahal ada orang yang dapat membantunya tetapi ia tidak
meminta bantuan, maka sah shalatnya. Adapun Imam Malik maka ketentuan
mataharinya adalah wajib menggerakkan ujung kepalanya saja atau menjalankan
rukun-rukun shalat dalam hati. Adapun pendapat yang kuat dalam mazhabnya
menyebutkan bahwa suci dari najis di badan, pakaian dan tempat adalah sunnah
dan disunatkan bagi orang yang tahu keberadaan najis tersebut dan mampu untuk
menghilangkannya agar mengulangi shalat.
Namun harus diperhatikan agar keringanan di atas dilakukan
hanya oleh penyandang disabilitas yang kesulitan untuk bersuci dengan sempurna,
bukan mereka yang menganggap enteng masalah ini dan mengambil yang mudah-mudah
saja. Allah Maha Mengetahui mana yang hambanya yang layak mendapat keringanan
dan mana yang tidak.
Dikutip dari:
Posting Komentar