Pamor Sekolah Islam Terpadu Sudah Memudar?


Beberapa waktu yang lalu, saya meminta istri untuk mengirimkan "paket" silaturahim ke salah satu TKIT di Yogyakarta. Kami merasa, sesekali perlu pula untuk terus menjalin silaturahim dengan tempat anak-anak kami dulu (sepuluh sebelas tahun yang lalu) sekolah. Nah, yang mengejutkan, guru-guru yang di sekolah itu masih sama dengan yang dulu, tidak ada guru yang baru. Bahkan jumlah gurunya malah berkurang karena jumlah peminat juga menurun.

Tentu saja kami terkejut. Kami pikir sekolah sebagus itu, kami sekolahkah tiga anak di situ, tentu akan terus berkembang dengan baik. Kenyataannya, perubahan zaman juga menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Hal-hal berikut ini hasil diskusi kami, bukan hasil riset. Mungkin yang bergelut di bidang ini bisa memberikan komentar atau menindaklanjuti dengan riset.

Tantangan pertama adalah pandemi Covid-19. Berdasarkan informasi dari sejumlah teman yang biasanya menyekolahkan ank ke sekolah Islam terpadu, selama pandemi kemarin tidak ada alasan untuk menyekolahkan anak ke sekolah IT. Sebab, ujung-ujungnya juga sama. Sekolah di rumah, orang tua yang repot. Padahal bayarnya lebih mahal. 

Keunggulan sekolah IT adalah karena proses pendidikan di sekolahnya yang lebih intensif, orang tua bisa sambill "titip anak" selama ditinggal kerja, dan lebih kopen. Selama pandemi, keunggulan ini tiba-tiba hilang. Sekolah IT atau tidak, sama-sama tidak didesain untuk menjadi sekolah online. Maka, tidak heran kalau saya dengar beberapa teman memindahkan anaknya dari sekolah IT ke sekolah reguler pada awaktu pandemi kemarin.

Apakah setelah pandemi berakhir akan terjadi perubahan? Akankah orang kembali ke sekolah IT? Entah, nanti kita lihat.

Tantangan kedua yang kami dengar dari guru dan beberapa teman yang bergulat di dunia pendidikan, generasi muda tidak tertarik menjadi guru di sekolah IT. Ini menjelaskan fakta tadi, bahwa guru-guru di sekolah anak saya itu tidak berubah dari belasan tahun lalu. Gaji guru itu (di mana pun) kecil. Gaji guru PNS di Jogja lebih kecil dari UMP DKI Jakarta! 

Ada kasus di sebuah sekolah yang mempekerjakan "guru milenial" dengan kontrak "kalau mundur sebelum setahun akan dikenai denda." dan si guru kontrak memilih membayar denda dariapada melanjutkan kontraknya. Demikian juga ada kasus ketika rekrutmen si calon guru langsung mundur begitu mendengar jumlah gaji yang dijanjikan sekolah.  

***

Sekali lagi, ini bukan hasil riset, hanya pengamatan. tetapi catatan ini tentu menarik untuk ditindaklanjuti dengan riset oleh mereka yang bergulat dalam isu pendidikan Islam.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama