Teladan Si Mbah

Pernahkah Anda mendengar ucapan semisal ini, "Orang NU koq nggak tahlilan!"? Dalam ucapan semisal itu, diasumsikan bahwa yang ditegur sudah tahu maksudnya, sudah ngerti orang NU itu seperti apa. Ungkapan semacam itu akan kehilangan makna kalau yang diajak bicara tidak paham NU itu bagaimana.

Sewaktu saya masih kecil, Mbah Putri saya sering bilang begini, "Putune Mbah Makruf koq salate telat!" Kalau saya main sampai lupa waktu, teguran semacam itu yang saya terima. Segala perilaku yang tidak baik akan cepat menerima nasehat yang menurut si mbah saya paham maksudnya.

Sebaliknya, kalau saya berbuat baik, menjadi anak saleh, si mbah akan bilang begini, "Oh ya pantes, putune Mbah Makruf." Saya memulai Puasa Ramadan penuh satu bulan saat mau masuk SD. Saya ingat pujian itu dan lagi-lagi saya tidak paham: Mbah Makruf ini siapa?

Oh maksud saya, saya tahu bahwa Mbah Makruf itu adalah simbahnya Mbah Putri saya. Mbah Putri saya ini aslinya Mojoroto, Kediri. Saya sering main ke sana karena saya masih sempat bertemu dengan buyut saya. Main ke Mojoroto itu momen menyenangkan bagi saya karena pergi ke kota. Beda dengan kota yang penuh sesak penduduk, rumah simbah di Mojoroto punya tanah yang luas (jaman itu). Di kebunnya ada banyak pohon jambu dan mangga yang buahnya lebat.

Buyut saya inilah yang putrinya Mbah Makruf, kakaknya Mbah Yai Abdul Majid, pendiri Wahidiyah. Dari atau sebelum ke rumah "Mbah Mojoroto" (begitu kami menyebut buyut saya itu), biasanya mampir Kedunglo. Mbah lik dan mbah dhe saya tinggal di situ dan lebaran wajib mampir, terus oleh sangu. Seingat saya, sesekali juga bapak mengajak ziarah ke Makam Mbah Makruf. Tetapi, saya tidak tanya, bapak juga tidak menjelaskan.

Mungkin bagi Mbah Putri atau orang tua saya, sosok Mbah Makruf itu too obvious to explain,barang nggenah ra perlu penjelasan. Siapa nggak kenal Mbah Makruf, mungkin begitu. Tetapi sungguh saya tidak tahu. Saya sering dengar kalau Pakde atau Paklik saya itu kalau sedang punya masalah atau punya hajat biasanya tirakat di makam Mbah Makruf. Sejauh umur saya ketika itu, saya tidak tertarik tirakat dan tidak tertarik tahu siapa Mbah Makruf.

Meskipun saya tidak tahu siapa beliau, ucapan Mbah Putri saya itu seperti terpatri dalam hati. Entah bagaimana bekerjanya, kata-kata itu sering terngiang memandu saya. "Putune Mbah Makruf ora oleh ngene, kudhu ngene..." 

Setelah dewasa barulah saya mengenal sosok beliau dari catatan dan kesaksian orang lain. Oalah, begini tho sosok yang selalu disebut Mbah Putri itu. Koq kebangenten tenan aku iki. Lahu al-Fatihah.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama