Riders of Justice


Tahun 2017, seseorang DM saya. Ia seorang difabel baru. Delapan bulan. Setelah lulus SMA, ia tidak kuliah dan memilih bekerja di Jakarta. Tak lama, ia mendapatkan kecelakaan yang mengakibatkan disabilitas. Ia tidak hanya kehilangan anggota badannya, tetapi juga pekerjaannya. 

Delapan bulan setelah menjadi difabel pasti periode yang sangat tidak mudah. Saya banyak bertemu difabel dan umumnya "difabel baru" lebih sulit menghadapi kehidupan dibandingkan difabel dari lahir. "Kebetulan" ia menemukan informasi tentang UIN Sunan Kalijaga. "Kebetulan" Facebook mempertemukan kami. Ia menghubungi saya, memperkenalkan diri, dan ringkas cerita ia diterima dan kuliah di sini.

"Kebetulan" ia diterima di prodi saya. Beberapa hari yang lalu, alhamdulillah, ia sudah menyelesaikan seluruh tahapan kuliahnya. Saya yang "kebetulan" ia hubungi di Facebook itu, "kebetulan" menjadi dosen pembimbing skripsinya. Skripsinya sangat baik, nyaris tanpa revisi. Salah satu skripsi terbaik yang pernah saya bimbing. 

Apakah yang terjadi ini semuanya hanya "kebetulan"? 

***

Semalam saya nonton sebuah film Denmark. Judulnya Riders of Justice. Awalnya, saya kira, judul tersebut adalah metaforik yang mewakili film secara keseluruhan, seperti biasanya. Tetapi ternyata itu judul proper name, nama sebuah geng motor. Tetapi geng motor dan ulahnya juga bukan cerita film ini. Bahkan tidak pernah sekalipun ada scene orang naik motor di film ini. 

Film ini, balik lagi ke judul, ternyata film soal justice. Temanya adalah "keadilan" dalam hidup ini dan bagaimana ia bekerja. Jadi, bukan justice dalam arti formal seperti polisi dan pengadilan.

Anda tahu kecelakaan maut yang diakibatkan truk tronton di Balikpapan baru-baru ini? Pertama yang saya pikirkan adalah para korbannya. Orang-orang yang akhirnya meninggal itu seperti tidak butuh alasan untuk mati. Sebagian mungkin sedang pulang kerja, berhenti dan merenung sejenak di lampu merah. Pikirannya mungkin sudah di rumah, sedang makan malam sambil nonton tivi bersama keluarga. Tetapi tanpa alasan apa pun, tiba-tiba detik itu juga mereka mati; atau sebaliknya, secara ajaib, "kebetulan" selamat satu centimeter dari serudukan truk.  

Film Riders of Justice juga demikian. Saya tidak akan bocorkan jalan ceritanya. Melalui kisah dua orang yang "kebetulan" selamat dari sebuah kecelakaan maut, film ini lalu mengandang renungan: Apakah semua peristiwa itu hanya kebetulan? Apakah yang mati adalah akibat kebetulan? Apakah yang selamat juga akibat kebetulan?

Film ini menawarkan beberapa perspektif untuk menjawabnya. Agama, seperti biasa, menjawabnya dengan rencana Tuhan. Tetapi, jika tidak percaya Tuhan, dapatkah matematika atau statistik menjawabnya? Dua dari karakter utama film ini adalah ahli komputer, statistik, pengembang AI yang percaya bahwa tidak ada "kebetulan" dalam hidup. Statistik dibantu AI pasti bisa menjawab. Benarkah? 

***

Jika tidak ada kecelakaan itu, anak itu tidak menjadi difabel. Kalau tidak menjadi difabel mungkin ia tidak akan pernah kuliah. Ia tetap kerja sebagai penjaga toko di Jakarta entah sampai berapa tahun. Lalu, dan lalu, entah apa yang terjadi. Jadi, apakah kecelakaan-kecelakan seperti yang ia alami, di Balikpapan, dan di film itu itu kebetulan, atau itukah caranya "keadilan" dalam hidup ini justru bekerja? Dan kita, tak lebih dan tak kurang, hanya riders of justice, not the makers!

1 Komentar

  1. Kata 'kebetulan" tentu kurang tepat untuk dipakai untuk menjelaskan sesuatu yang sudah atau sedang terjadi pada kita sebagai Muslim.
    Wallohu a'lam...

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama