Enam Alasan Jurnal Terindek Scopus tidak Selalu Penting


Sebagai pengelola jurnal dan sering diminta memberi pelatihan publikasi jurnal, saya pernah ditanya: apakah jurnal yang terakreditasi lebih tinggi menjadi jaminan kualitas sebuah artikel? Apakah Jurnal yang terindeks Scopus harus lebih dirujuk daripada jurnal yang terindeks Sinta kelas 5?

Sebagai peneliti, jawaban saya tegas, tanpa ragu-ragu, bahwa kualitas sebuah artikel tidak ditentukan oleh status jurnalnya! 

Pertama, Scopus tidak memiliki spesialis yang mampu turun sampai ke kualitas artikel per artikel. Ya, mereka mungkin mempekerjakan ahli di bidang tertentu untuk menilai sebuah jurnal, tetapi tidak sampai ke level kualitas riset per artikel. Mereka adalah lembaga bisnis. Akalnya adalah ekonomi. Tidak ada nilai ekeonomisnya untuk mempekerjakan orang sedetil itu.

Kedua, dari sudut pandang peneliti Indonesia, Scopus hanya mengcakup jurnal-jurnal berbahasa asing, Inggris khususnya dan beberapa bahasa asing lain yang tidak banyak jumlahnya. Saya belum mendengar ada jurnal full bahasa Indonesia terindeks Scopus (koreksi hamba jika keliru). Artinya? Ada ribuan naskah berbahasa Indonesia, hasil riset penting dan berkelas, yang tidak ada di jurnal-jurnal terindeks Scopus  

Ketiga, praktik abal-abal ada di jurnal-jurnal terindeks Scopus. Kita bisa ambil contoh dengan mudah, sambil merem (pakai TalkBack), beberapa jurnal yang katanya terindeks Scopus tetapi praktiknya jurnal abal-abal: sekali  terbit 50-100 naskah, bahasa Inggrisnya bikin muntah, referensinya hanya 5-10 biji.

Keempat, ada banyak jurnal yang sebenarnya layak terindeks Scopus, tetapi ditolak Scopus karena... entahlah! Mungkin bad luck, apes. Sebaliknya ada beberapa jurnal yang kualitasnya di bawah itu tetapi malah terindeks Scopus. Hoii, nggak usah tengok kiri kanan. Saya sedang bicara beberapa jurnal dari negara lain!

Kelima, kembali lagi sebagai peneliti. Tugas kita melakukan re-search! Re-cari! Cari dan cari, dan cari, dan cari, dan cari. Tugas kita mencari terus data penting itu, di mana saja! Kita merem dengan akreditasi jurnal kalau sudah urusan menemukan data berharga. Apalagi kalau bidang yang kita teliti adalah bidang-bidang yang langka. Ada yang nulis saja sudah untung, boro-boro  ngomong status akreditasi. 

Keenam, pengalaman penting: saya sering menemukan artikel-artikel berkualitas dari jurnal-jurnal kelas bawah. Misalnya, saya baru menemukan sebuah tulisan yang baik sekali tentang peran kitab-kitab produksi Menara Kudus dalam melestarikan bahasa Jawa. Saya sering punya pikiran itu ketika membaca literatur kitab-kitab pegon dan makna gandhul. Saya bahagia sekali ketika menemukan tulisan Jamaluddin yang diterbitkan di sebuah jurnal Sinta 5. Nah, saya malah jadi teringat: bukankah ini penulis yang bukunya barusan diterbitkan Mas Salim itu?

Tujuh. Eh cukup. Kan judulnya enam!

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama